PPKM Darurat, Antara Harapan Pemerintah dan Keluhan Masyarakat

Mursal Alfa Iswara

Oleh Mursal Alfa Iswara

Satu tahun lebih sudah Covid-19 kelayapan di Indonesia, di negeri seribu candi. Jumlah korban bukannya malah berkurang, namun semakin menjadi-jadi.

Kebijakan pemerintah dalam tangani pandemi pun terus berganti. Terbaru, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat. Agenda utama PPKM Darurat ini membatasi mobilitas masyarakat yang dinilai tidak esensial, meningkatkan tracing, serta mempercepat proses vaksinasi di seluruh Indonesia.

Bacaan Lainnya

Kota Medan, salah satu dari sekian banyak kab/kota di Indonesia yang menerapkan PPKM Darurat ini. Kebijakan tersebut dilakukan mulai 12 Juli sampai 20 Juli. Surat edaran tentang aturan pembatasan kegiatan masyarakat yang ditandatangani Wali Kota Medan Bobby Nasution pun sudah disebar ke perusahaan, dan masyarakat diminta mematuhi.

Dalam surat edaran disebutkan, kegiatan belajar mengajar (sekolah, perguruan tinggi, akademi, tempat pendidikan/pelatihan) dilakukan secara daring/online.

Pelaksanaan kegiatan di tempat kerja/perkantoran diberlakukan 75 persen WFH dan 25 persen WFO dengan penerapan protokol kesehatan secara lebih ketat.

Pelaksanaan pada sektor esensial dapat beroperasi dengan ketentuan batas maksimal 50 persen staf untuk di lokasi yang berkaitan dengan pelayanan kepada masyarakat. Serta 25 persen untuk pelayanan adminitrasi perkantoran guna mendukung operasional.

“Esensial pada sektor pemerintahan memberikan pelayanan publik yang tidak bisa ditunda pelaksanaannya diberlakukan 25 persen maksimal WFO dengan protokol kesehatan secara ketat,” tulisnya.

Dalam point berikutnya dijelaskan, kritikal seperti kesehatan, keamanan dan ketertiban masyarakat dapat beroperasi 100 persen staf tanpa ada pengecualian. Sedangkan kritikal seperti penanganan bencana hingga distribusi terutama untuk kebutuhan pokok masyarakat dapat beroperasi 100 persen maksimal staf. Hanya pada fasilitas produksi/konstruksi/pelayanan kepada masyarakat dan untuk pelayanan administrasi perkantoran guna mendukung operasional, diberlakukan maksimal 25 persen staf.

Kemudian supermarket, pasar tradisional hingga toko kelontong jam operasional dibatasi hingga pukul 20.00 WIB dengan kapasitas 50 persen pengunjung. Untuk apotek dan toko obat dapat buka selama 24 jam. Restoran hingga kafe hanya menerima delivery/take away dan perbelanjaan/mall tidak menerima makan di tempat.

Kegiatan pada pusat perbelanjaan/mall/pusat perdagangan ditutup sementara kecuali akses untuk restoran, supermarket dan pasar swalayan dapat diperbolehkan dengan memperhatikan dengan ketentuan angka 8,” tulis isi surat edaran itu lagi.

PPKM di Mata Masyarakat

Maksud hati, aturan PPKM Darurat ini untuk meminimalisir penambahan jumlah warga yang terpapar Covid-19. PPKM Darurat ini diyakini mampu cegah kerumunan yang berpotensi terjadinya penularan virus Corona.

Tapi di lapangan, penerapan PPKM Darurat banyak juga dikeluhkan masyarakat. Alhasil kepanjangan PPKM pun diolok-olok dan dipleset-plesetkan sesuai dengan yang mereka alami selama kebijakan itu dijalankan.

Seperti pulang pergi kami mutar-mutar atau pandai-pandai kalian mutar. Istilah ini muncul, karena selama PPKM ini, sejumlah simpang di Medan disekat. Baik lokasi, jam penyekatan pun tak pasti. Alhasil di beberapa titik saat penyekatan baru dilakukan, kemacetan pun terjadi. Malam hari, lampu-lampu jalan pun mati.

Ada juga yang memplesetkan PPKM itu kepanjangan pelan-pelan kami mati. Bukan rahasia umum lagi, pendapatan atau penghasilan para pedagang berkurang dengan diberlakukannya PPKM Darurat ini.

Memang tak ada instruksi larangan untuk tidak berjualan. Boleh, tapi take away, tak boleh makan di tempat. Coba bayangkan, siapa yang mau beli jika jalan-jalan di lokasi mereka berdagang, disekat.

Belum lagi para karyawan yang saat ini khawatir kena PHK (pemberhentian hubungan kerja), apalagi kerja dilakukan di rumah dan pemasukan perusahaan berkurang. Sementara bantuan sosial dari pemerintah masih terus dinanti-nanti.

Meski banyak yang tak cocok dirasa dari kebijakan ini, jangan pula kita mencaci maki. Itu juga bukan solusi. Yakinlah, bapak-bapak petugas yang menjaga pos penyekatan itu juga mempertaruhkan nyawa demi tugas dalam menangani pandemi.

Terpenting sekarang ini, mari saling menghargai kerja keras kita bersama dalam tangani pandemi. Tidak melanggar protokol kesehatan dengan memakai masker, rajin cuci tangan pakai sabun, jaga jarak, hentikan kerumunan atau berkumpul untuk urusan politis. Jangan merasa kebal, Padahal, tidak ada satu orang pun yang kebal dari penyakit ini. Sekian terima kasih. (Penulis adalah wartawan Sumutcyber.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *