PR, Manfaat atau Beban Bagi Siswa?

Irna Minauli

Sumutcyber.com, Medan – Siswa SD di Dairi meninggal dunia, Minggu (3/10/2021), setelah beberapa hari mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit, akibat menenggak racun rumput.

Aksi nekad meminum racun rumput tersebut diduga karena beban pekerjaan rumah (PR) yang terlalu berat akibat dengan sistem daring (dalam jaringan) ini.

Bacaan Lainnya

Apa manfaat PR dan kapan PR itu dianggap beban berat bagi anak saat Daring ini? Redaksi Sumutcyber.com, mewawancarai Psikolog Medan Dra. Irna Minauli, MSi, Psikolog, Senin (4/10/2021).

Dia menuturkan, pekerjaan rumah sebenarnya memiliki fungsi yang sangat baik, yaitu melatih siswa memahami materi yang diberikan dengan cara pengulangan (drilling). Dengan adanya pengulangan-pengulangan tersebut maka diharapkan pelajaran yang tadinya baru masuk ke short-term memory (memory jangka pendek) siswa dapat disimpan ke long-term memory (ingatan jangka panjang) yang biasanya akan lebih melekat dan mudah untuk diingat kembali (recalling).

“Akan tetapi dengan adanya perubahan-perubahan kurikulum dari masa ke masa membuat PR tersebut kemudian berubah. Pada masa sebelumnya ketika siswa SD hanya bersekolah sekitar 3-5 jam saja maka pekerjaan rumah akan sangat membantu mengingat kembali apa yang dipelajari di sekolah. Akan tetapi ketika menggunakan kurikulum 2013 dimana siswa menghabiskan lebih banyak waktunya di sekolah, sekitar 7 jam selama 5 hari seminggu, maka pekerjaan rumah kemudian dihapuskan karena dianggap membebani siswa yang sudah kelelahan di sekolah,” ungkapnya.

Direktur Minauli Consulting ini juga menuturkan, pada saat pandemi, ketika siswa belajar di rumah, maka tidak jelas lagi batasan antara belajar dan melakukan pekerjaan rumahnya. Kurangnya interaksi antara guru dan anak membuat anak sering kurang memahami apa yang diajarkan gurunya. Padahal tujuan dari latihan-latihan tersebut baru efektif ketika siswa sudah mengetahui dasar-dasarnya sehingga ketika mengerjakan PR mereka hanya sekedar mengulang dan memperlancar kemampuan belajarnya.

“Misalnya ketika siswa sedang mempelajari perkalian, setidaknya mereka sudah paham bagaimana cara mengalikan sehingga ketika diberi PR mereka akan semakin hafal dengan perkalian tersebut,” imbuhnya.

Secara teoritis, lanjut Irna, kemampuan seorang siswa mengerjakan PR sangat bergantung pada usia dan tingkat pendidikannya. Misalnya, anak usia SD maka rentang perhatiannya sekitar 60 menit. Siswa SMP sekitar 90 menit dan siswa SMA sekitar 120 menit.

“Sayangnya, dengan banyaknya distraksi atau gangguan seperti gadget maka banyak siswa yang mengalami kemunduran dalam rentang perhatiannya (span of attention) sehingga mereka tidak mampu bertahan dalam tugas-tugas yang panjang dan lama, terlebih jika tugas tersebut tidak menarik karena tidak disertai gambar,” tuturnya.

Berbeda dengan games atau informasi yang mereka lihat di gadgetnya yang penuh warna dan gerakan sehingga lebih menarik perhatian. Sementara buku-buku pelajaran biasanya hanya berupa teks saja yang seringkali tanpa warna apalagi gerak.

“Secara kasuistik, kasus-kasus anak yang datang ke biro Minauli Consulting menunjukkan terjadinya penurunan kemampuan siswa akibat pembelajaran Daring ini. Misalnya seorang siswa kelas 2 SD yang memiliki kecerdasan normal namun ternyata kemampuan membacanya masih sangat rendah, masih mengeja dan kurang trampil. Akan tetapi hal ini mungkin perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam pada siswa-siswa lainnya secara umum,” pungkasnya.

Dia juga mengatakan, sekolah-sekolah favorit yang siswanya bisa masuk PTN misalnya, mereka masih banyak menerapkan model pemberian PR ini sehingga ketika siswa tersebut masuk ke PTN yang membutuhkan ketekunan dan daya juang yang tinggi, mereka menjadi lebih terbiasa dengan banyaknya tugas-tugas yang diberikan. Demikian pula ketika mereka memasuki dunia kerja dengan tuntutan tugas yang berat, mereka akan lebih tahan banting dibandingkan dengan siswa yang terlalu santai dan tidak banyak PR di sekolahnya.

“Jadi menurut saya, PR itu sangat penting. Hanya perlu disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswanya serta sistem pembelajaran yang tepat,” demikian Irna Minauli. (SC03)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *