Sumutcyber.com, Tanjungbalai – Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS-PA) Tanjungbalai, Robi Syahputra Siregar menegaskan, kasus kekerasan seksual apalagi terhadap anak, tidak bisa diselesaikan dengan jalan keadilan restoratif atau restorative justice.
“Tidak bisa. Restorative justice itu kalau pelakunya anak-anak. Ini kan pelakunya orang dewasa,” tegas Robi, Jumat (4/11/2022).
Sesuai Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) perkara ini tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
Dalam beberapa referensi, keadilan restoratif ini serupa penyelesaian sengketa dalam perkara perdata yakni penyelesaian di luar pengadilan. Keadilan restoratif ini adalah penyelesaian di luar pengadilan untuk kasus pidana.
Mahkamah Agung juga telah mengatur mekanisme penerapan restorative justice ini dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/DK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020.
Berdasarkan ketentuan itu, ada kriteria dalam pelaksanaan restorative justice yakni tindak pidana ringan pada Pasal 364, 373, 379, 384,407, dan Pasal 802 KUHP dengan nilai kerugian tak lebih dari Rp2.500.000.
Robi menegaskan terlepas dengan alasan apapun, apakah itu permaafan atau perdamaian serta mengingat nama baik pelaku, seharusnya proses hukum dijalankan lebih dulu.
“Terlepas dari apapun, termasuk ada pemaafan dan sebagainya, seharusnya proses hukum itu dijalankan lebih dulu karena kasus ini bukan delik aduan,” ujarnya.
Di kesempatan ini, Robi mengakui cara penyelesaian kasus pencabulan secara damai dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak memang sangat sering terjadi.
“Karena biasanya orang tua menganggap itu aib. Selain itu antara pelaku dengan orang tua korban sudah saling mengenal dan pelakunya biasanya dalam tanda kutip ‘dihormati’,” ujar Robi.
Namun, Robi kembali mengingatkan, kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah anak-anak bukan merupakan delik aduan. Artinya, walau orang tua korban tidak melaporkan kasus itu, polisi seharusnya tetap proaktif.
“Terlepas ada permaafan dari orang tua atau tidak, ini kan bukan delik aduan. Karena bukan delik aduan, polisi seharusnya bisa melakukan upaya supaya tidak muncul korban baru lagi,” ujarnya.
Masalah pencabulan diatur didalam undang – undang perlindungan anak no 35 tahun 2014 pasal 76, jadi delik nya delik Biasa, siapa saja bisa melaporkan jika mengetahui tindak pidana pencabulan, bukan mesti korban, jadi walaupun orang tua korban ingin berdamai, tidak mempengaruhi proses hukum dan hukum tetap berjalan.
Robi juga sangat menyayangkan atas sikap sekolah yang dianggap lalai dalam pengawasan dan seakan membiarkan hal tersebut terjadi, sebab pengakuan kepala sekolah sebelumnya bahwa ibu korban sudah membicarakan atas apa yang menimpa kepada anak nya tiga hari sebelum pelaku diamankan oleh pihak Polres Tanjungbalai di kediamannya.
“Tapi di sini kita sangat menyayangkan pihak sekolah yang sudah mengetahui kejadian tersebut namun tidak membuat laporan kepada pihak berwajib pada hal sudah diatur dalam undang-undang, ada apa dengan pihak sekolah”, ucap Robi
“Disini kita berharap pihak kepolisian dapat menjalankan dan memberikan sanksi tegas terhadap pelaku sesuai undang-undang yang berlaku di Republik Indonesia, agar tidak ada korban pencabulan anak dibawah umur lagi” pungkas Robi ketua Komnas PA Kota Tanjungbalai. (SC-HNS)