Oleh: Irna Minauli, Psikolog
FENOMENA childfree di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik sudah semakin meningkat di kalangan generasi muda. Diperkirakan sekitar delapan persen atau lebih dari 71 ribu perempuan usia 15-49 tahun memilih gaya hidup tanpa anak (childfree).
Hidup tanpa anak harus dibedakan antara childless dan childfree. Keduanya berbeda dalam hal niat. Pada childless mereka tidak memiliki anak tanpa keinginan mereka sendiri karena misalnya masalah ketidaksuburan. Adapun pada childfree, mereka mungkin bisa memiliki anak, namun mereka dengan sengaja memilih untuk tidak memiliki anak.
Dalam budaya Indonesia, umumnya masyarakat lebih bisa menerima pasangan yang childless dibandingkan yang childfree. Itu sebabnya, stigma terhadap mereka yang memilih gaya hidup childfree menjadi lebih buruk.
Untuk dapat memilih gaya hidup childfree harus berdasarkan kesepakatan kedua pasangan suami istri tersebut, sebab jika hanya satu pihak saja yang menginginkannya maka risiko masalah dalam perkawinannya akan semakin besar. Itu sebabnya perlu keberanian besar dari pasangan tersebut untuk menyatakan bahwa mereka memilih gaya hidup childfree.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan pasangan memilih gaya hidup childfree, antara lain masalah mental, faktor ekonomi dan alasan lingkungan.
Masalah mental yang melatarbelakangi biasanya merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) yang muncul akibat pengalaman masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan atau adanya masalah dalam kehidupan keluarganya. Mereka khawatir bahwa mereka akan mewariskan kondisi toksik ini pada keturunannya karena secara mental mereka merasa tidak mampu. Hal ini membuat mereka sering dinilai sebagai pribadi yang kurang sensitif, kurang memiliki kasih sayang dan tidak dapat beradaptasi dengan anak-anak.
Secara ekonomi mereka takut kekurangan uang dan tidak dapat menikmati hidupnya. Mahalnya biaya hidup dan pendidikan anak menjadi salah satu pertimbangan mereka.
Faktor lingkungan seperti perubahan iklim dan populasi dunia yang sudah sangat padat, membuat mereka perlu menekan angka kelahiran penduduk bumi. Mereka menganut “zero growth population”. Dengan pengetahuan seperti ini, tidak mengherankan jika kebanyakan para penganut childfree adalah mereka yang berpendidikan tinggi.
Meski demikian, akan muncul stigma dan tekanan dari lingkungan dan keluarga yang akan menghadang para penganut childfree. Mereka akan mengalami kekerasan verbal (verbal abuse) dari lingkungan. Secara sosial, mereka mungkin dapat kehilangan status misalnya pada acara-acara adat yang umumnya ditujukan bagi mereka yang sudah memiliki anak.
Komentar