Mengenang Sosok Ayah, Sang Jurnalis Senior di Harian Waspada

Screenshot dari laman Waspada.id

DUA bulan telah berlalu. Sejak kepergiannya pada 28 Juni 2024 kemarin hingga kini, bayangan sosok ayah Alm. H. Akmal AZ masih terasa begitu nyata, meski raganya tak lagi ada.

Setiap sudut rumah di Jalan Coklat 8 No. 26 P. Simalingkar Medan, seolah masih menyimpan jejak kehadiran ayah, seakan – akan dia masih menyambut kami, anak dan cucunya ketika datang berkunjung ke rumah itu.

Namun ternyata, hanya sunyi yang kini menggantikan suara nasihat dan tawanya. Meski sulit, aku berusaha menerima kenyataan bahwa ayah telah pergi untuk selamanya.

Kepergian ayah sangat mengejutkan aku dan keluarga besar kami. Sebab, tidak ada tanda-tanda sakit yang begitu mengkhawatirkan, dan ia juga tidak meninggalkan pesan apapun untukku maupun kepada mamak menjelang akhir hayatnya.

Bacaan Lainnya

Padahal, sehari sebelum meninggal, aku dan mamak masih menemani ayah di kamar. Kami khawatir ia akan bangkit dari tempat tidur dan jatuh saat berjalan sendiri ke kamar mandi, karena tensinya cukup tinggi dan ia merasa pusing.

Hampir dua jam aku menunggu ayah di kamar hingga ia akhirnya tertidur setelah mengonsumsi obat dari rumah sakit. Namun, ayah sering terbangun, dia memintaku mengurut kepalanya dan dia memegang dan menggenggam kakiku.

Sore hari, ia tampak lebih bugar. Ia bahkan menyuruhku pulang dan meyakinkanku bahwa ia sudah merasa lebih baik. Makanya Aku tidak pernah membayangkan bahwa hari itu akan menjadi hari terakhir kami bersama, tanpa pesan atau nasihat terakhir darinya.

Keesokan paginya, kabar duka itu datang begitu tiba-tiba, kurasa dunia seperti berhenti sejenak. Rasanya sulit dipercaya, karena malamnya ayah masih tampak baik-baik saja. Tapi Tuhan berkehendak lain, Ayah pergi tanpa ucapan perpisahan.

Sosok Ayah

Aku tidak begitu mengenal sosok ayah, dan kedekatan kami pun tidak seerat yang diharapkan. Ayah adalah seorang redaktur di Harian Waspada, dan sebelumnya memegang berbagai jabatan, mulai dari wartawan hingga kepala biro di Aceh. Kesibukannya dengan berbagai tanggung jawab itulah yang membuat aku, abang-abangku dan adikku tidak begitu dekat dengannya. Waktu kami bersama sangat terbatas, karena pekerjaannya.

Apalagi ketika ayah masih menjadi redaktur, kesehariannya penuh dengan kesibukan. Ia selalu pulang larut malam, menunggu berita terakhir untuk dikirim ke percetakan. Saat ia pulang, kami sudah terlelap, dan ketika kami bersiap pergi ke sekolah, ayah masih tertidur lelah usai Salat Subuh.

Sepulang sekolah, hanya mamak yang ada di rumah, karena ayah sudah berangkat kembali ke kantor. Begitulah rutinitasnya sehari-hari. Meski jarang bertemu, setiap hari libur menjadi momen berharga. Ayah selalu menyempatkan waktu untuk mengajak kami rekreasi atau sekadar makan bersama di luar, maupun silaturahmi ke rumah saudara, hal itu membuat waktu yang terasa singkat itu sangat berarti.

Meski sangat sibuk, ayah selalu menjadi sosok yang penuh tanggung jawab. Semua kebutuhan kami terpenuhi dengan baik. Bahkan ketika aku sudah bekerja pun, ia tetap perhatian. Melalui WhatsApp, ayah sering bertanya apakah aku punya uang. Jika tidak, ia menyuruhku menggunakan uangnya terlebih dulu untuk keperluanku, seperti membayar KPR rumah dan lain-lain. Perhatiannya tak pernah surut, meskipun kami sudah dewasa.

Yang paling membekas dalam ingatanku hingga kini adalah saat aku mengalami kecelakaan lalu lintas pada 26 Desember 2004, tepat di hari ulang tahunku. Di hari itu, aku terbaring di rumah sakit, tulang punggung sebelah kiri patah dan kaki retak. Ayah, terlihat sangat khawatir, mengelus dan mencium keningku, meyakinkan ku kalau tak akan terjadi apa-apa.

Ayah juga berkali-kali mendengar penjelasan dokter yang mengatakan mulutku bau minuman keras sehingga tidak bisa dibius, kupikir ayah marah, ternyata tidak. Dia tetap sabar serta terus meminta kepada dokter untuk memberikan perawatan terbaik untukku. Beruntung, operasi tidak jadi dilakukan. Seorang teman ayah, yang juga tetangga kami, menyarankan untuk membawaku ke dukun patah.

Di rumah dukun patah, setiap hari, baik sebelum maupun setelah pulang kerja, ayah selalu menyempatkan diri singgah melihat kondisiku. Begitu pula ketika cucu-cucunya, anakku, dirawat di rumah sakit—ayahku bisa datang dua kali dalam sehari untuk menjenguknya. Begitulah kasih sayangnya, tak pernah luntur untuk keluarga.

Selalu Ingat Kebaikan Orang

Sudah lebih dari dua bulan berlalu, namun tradisi berkunjung ke rumah ayah pada Sabtu malam tetap kami jalankan. Kini, hanya mamak yang menyambut kami dengan tawa saat melihat tingkah laku anak-anakku. Tak ada lagi cerita-cerita dan nasihat bijak dari ayah.

Ayah selalu paling bersemangat bercerita tentang kebaikan pimpinannya di Harian Waspada, terutama Pak H. Prabudi Said, Pemimpin Redaksi yang ia panggil dengan sebutan ‘Bang Yap’. Aku masih ingat terakhir kali ayah bercerita tentang mimpinya bertemu Pak Yap di suasana kerja di kantor. Anehnya, Pak Yap juga memimpikan ayah. Mungkin mereka saling merindukan, mengenang masa-masa saat suasana kerja masih seperti dulu, sebelum ayah pensiun.

Bukan hanya sekali atau dua kali ayah bercerita tentang sosok Prabudi Said. Bahkan, ceritanya diulang berkali-kali, dan aku selalu menjadi pendengar yang setia. Sejak aku masih di sekolah dasar, antara tahun 1995 hingga 1997, nama Pak Yap sudah sering kudengar dari mulut ayah. Pak Yap kerap memberikan barang-barang berharga kepada ayah, seperti laptop, handphone, dan jam tangan. Bahkan Harian Waspada-lah yang memberangkatkan ayah ke Tanah Suci pada tahun 2006 (jika tidak salah ingat) dan menunaikan umrah bersama.

Sehari sebelum kepergiannya, ayah masih mengenakan jam tangan Kenneth Cole pemberian Pak Yap, meskipun jam itu sudah lama mati. Setiap kali kami menyarankan agar mengganti dengan jam lain yang masih berfungsi, ayah selalu menolak, dengan alasan bahwa jam itu adalah pemberian Pak Yap. Saat di rumah sakit, aku akhirnya melepas jam itu atas perintah dokter karena ayah harus diperiksa jantungnya. Jam tersebut kumasukkan ke dalam kantong, dan sekarang menjadi kenang-kenangan berharga bagi kami. Begitulah ayahku, selalu menghargai kebaikan orang-orang yang pernah hadir dalam hidupnya.

Pada tahun 2008, aku juga mulai terjun ke dunia jurnalistik, dan bekerja satu kantor bersama ayah hingga tahun 2019. Saat pertama kali menjadi jurnalis, ayah bercerita kalau menjadi wartawan akan membawa kita ke posisi di mana banyak orang datang meminta bantuan, terutama terkait informasi atau akses ke layanan tertentu, seperti rumah sakit dan urusan lainnya. Prinsipnya, kata ayah, jika kita mampu membantu, maka lakukanlah sebisa kita. Namun, jika permintaan tersebut berada di luar kemampuan atau kapasitas kita, jangan biarkan hal itu menjadi beban pikiran.

Kalau bisa dibantu, ya bantu sesuai kemampuan kita. Kalau nggak bisa, ya sudah, jangan jadi beban pikiran kau.” Pesan itu masih terngiang di benakku sampai sekarang.

Mengenang sosok ayah memang sering kali membawa kita pada perasaan sedih dan haru, terutama saat kenangan itu hadir di waktu-waktu sunyi seperti yang kurasakan tadi malam. Tak bisa tidur aku dibuatnya.

Tak ada maksud lain dari tulisan ini, selain mengungkapkan rasa rindu dan hormat ku untuk ayah. Dalam tiap doa yang kupanjatkan, semoga beliau mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Al-Fatihah untuk Ayah.

Penulis adalah Mursal AI

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *