Oleh Mursal Alfa Iswara
Saya termasuk orang yang beruntung dan bersyukur, pernah berbincang panjang lebar dengan tokoh terkenal, sekaligus pengusaha sukses yang sangat dermawan, sekaliber Almarhum H. Anif di rumahnya, di Komplek Cemara Asri pada 21 Maret 2017 lalu.
Media tempat saya bertugas dulu, Harian Waspada, pernah memerintahkan saya untuk mewawancarai beliau. Namanya wartawan, kalau perintah dari kantor, siap tidak siap tugas harus dikerjakan. Apapun ceritanya, harus jumpa sama beliau, bagaimana pun caranya.
Ketika itu, saya mewawancarai beliau berkaitan dengan akan diluncurkannya Buku Biografi H. Anif, ‘Hidup Ikhlas Tanpa Tipu Muslihat’ tulisan Toga Nainggolan, di Ballroom JW Marriot Hotel Medan, Kamis (23/3/2017).
Untuk bertemu Almarhum H. Anif, saya pun menghubungi salah satu anak beliau, Bang Ijeck, panggilan akrab Musa Rajekshah, yang saat ini menjabat Wakil Gubernur Sumut. Alhamdulillah, dalam waktu yang tak begitu lama, Bang Ijeck memberi kabar ke saya, kalau Dadaknya, H. Anif bersedia diwawancara dan menunggu kehadiran saya di rumahnya.
Awalnya saya berpikir, bakal memakan waktu berhari-hari baru bisa bertemu dengan H. Anif, yang sudah membangun 21 masjid ini. Ternyata, anggapan saya salah, di tengah kesibukan beliau sebagai pengusaha, hilir mudik ke luar negeri, masih menyempatkan diri, menerima saya wartawan junior ini.
Saya tak pergi sendiri untuk bertemu H. Anif, tapi mengajak Rahmat Utomo, rekan satu profesi yang saat itu masih bertugas di media yang sama.
Ini kali kedua saya ke rumah penggagas mobil pembersih Masjid ini. Begitupun saya tetap tak tahu tepat alamat rumahnya. Setibanya di Kompleks Cemara Asri, saya pun mencoba bertanya kepada salah satu Security perumahan itu, dengan harapan ditunjukkan jalan ke rumah Almarhum H. Anif.
Namun, dari raut wajahnya, Security tersebut seakan tak percaya, kalau kami mau bertemu dengan beliau. Tak mau berlama-lama dan mengejar deadline, saya kembali menelepon Bang Ijeck, dan Bang Ijeck meminta saya memberikan handphone saya ke Security tersebut untuk berbicara.
Tanpa banyak basa-basi lagi, barulah Security tersebut menunjukkan jalan ke rumah H. Anif. Tiba di rumahnya, beliau menyambut kami dengan sangat baik, hangat. Kami tak duduk di ruang tamu, tapi kami diajak ke ruang makan. Di situlah kami berbincang panjang lebar, sembari menyantap hidangan yang disiapkan.
Disela-sela perbincangan, beberapa kali aura kebapakan beliau muncul. Kami dinasehati beliau dan memberikan motivasi agar sukses menjalani hidup. Maka tak heran, sosok H. Anif begitu dikenal, baik dikalangan masyarakat hingga pejabat tingkat nasional.
Di mata mereka, H. Anif merupakan pengusaha yang dermawan, suka membantu dan santun. Siapapun yang menyapa, pasti disambut dengan senyuman khasnya.
Pernah Diusir
Namun, dibalik itu semua, H. Anif lebih dulu menikmati kekayaan hidup dari pahit getirnya perjalanan hidup.
“Saya pernah merasa menjadi orang yang paling miskin. Saya diusir dari rumah orangtua karena mereka marah sama saya minum-minuman keras dan sebagainya. Udah diperingati orangtua, tapi saya nggak mau mendengar. Akhirnya diusir, makanya saya bawa istri dan anak-anak ngontrak rumah di Jl. Bromo,” kata H. Anif kepada saya saat menyambangi rumahnya di Cemara Asri, saat itu.
H. Anif resmi meninggalkan rumah orangtuanya di Jl. Dwi Deli dengan langkah lunglai. Tidak punya apa-apa karena sudah mengecewakan sang Ayah yang selama ini dia kagumi. Dia terpaksa berteduh dikontrakan yang tidak ada meja, perabotan mewah lainnya, apalagi kasur empuk. Untuk mandi saja, airnya harus disaring dengan pasir agar airnya bersih dan tidak kuning. Saat itu, hanya keluarga yang setia menghibur kala lelah melawan kerasnya hidup.
“Jl Bromo kala itu masih sangat sepi, rawa, becek, sumber airnya juga tidak bersih. Biasanya sebelum memandikan anak-anak saya, airnya harus disaring dengan dengan pasir, baru bersih,” kenang H. Anif ini sambil tersenyum mengenang perisitiwa kelamnya dulu.
Dia sadar hidupnya tidak mungkin seperti ini selamanya. Karena itu, H. Anif bertekad untuk mengubah perilakunya lebih baik dan memulai hidup baru. Saat tinggal di Bromo ini juga, H. Anif mendapat tawaran pekerjaan dari salah seorang sahabat untuk mengawasi perkebunan kelapa sawit di salah satu wilayah di Sumut.
Sosoknya yang pekerja keras, jujur, menjaga kepercayaan membuatnya banyak disukai rekan bisnis lainnya. Hingga pada 1982 H. Anif memilih memutuskan untuk memulai bisnis sawit sendiri. Dari sinilah usaha H. Anif mulai berkembang hingga sukses seperti sekarang.
Saat sudah memiliki uang yang cukup, H. Anif pindah ke rumah yang lebih bagus, di Jl. STM. Dia pun rutin memberi bantuan. Dalam memberikan bantuan, H. Anif fokus pada dunia pendidikan dan keagamaan. Maka banyak gedung H. Anif di sejumlah universitas di Sumut.Baginya, pendidikan formal dan agama sama pentingnya.
Pesantren
Namun, pada saat itu, beliau menyampaikan kepada saya tentang niatnya membangun pesantren.
“Keinginan saya yang belum terwujud yaitu membangun pesantren yang memiliki pendidikan pertanian yang modren. Pesantren itu perlu untuk membentuk akhlak dan moral anak bangsa sedangkan pendidikan pertanian saya ingin kerjasama dengan Thailand, karena saya tidak ingin kita terus mengimpor makanan dari luar negeri. Insyaallah, jika diijinkan Allah, saya ingin melihat langsung pembangunan pesantren,” ungkapnya kala itu.
Itulah biografi singkat beliau. Baginya kerja keras, pantang menyerah dan memilki cita-cita mulia adalah harta yang sesungguhnya. Akhir kata, saya hanya bisa mengucapkan selamat jalan Pak H. Anif. Semoga Allah SWT menempatkan dirimu di tempat terbaik di surgaNya kelak dan sifat kedermawananmu menjadi inspirasi bagi masyarakat Sumut untuk bisa saling berbagi.(Penulis adalah Wartawan Sumutcyber.com)