Sumutcyber.com, Medan – Kementerian Agama dalam dua tahun terakhir terus melakukan penguatan moderasi beragama bagi guru dan pengawas Pendidikan Agama Islam (PAI). Salah satunya, mendorong para guru dan pengawas PAI untuk menginsersi nilai-nilai moderasi beragama di semua kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Praktik baik implementasi nilai-nilai moderasi beragama di sekolah antara lain dapat ditemukan di satuan Pendidikan Yayasan Sultan Iskandar Muda (SIM) Medan. Lembaga pendidikan ini didirikan oleh Sofyan Tan, seorang pemuda Tionghoa yang berasal dari desa Sunggal pada 1987.
Agus Rizal, salah satu guru PAI di SIM, menuturkan bagaimana pemahaman agama yang moderat menjadi penting dalam upaya mengimplementasikan nilai-nilai moderasi beragama di tempatnya mengajar. Menurutnya, peran dan posisi guru agama, khususnya Agama Islam, sangat berpengaruh dan berada pada garda terdepan dalam mentransfer nilai-nilai tersebut kepada peserta didik.
Kepada Tim PAI, pria yang sudah 21 tahun menjadi guru Agama Islam di Yayasan Perguruan SIM ini bercerita tentang praktik toleransi yang terjadi di tempatnya mengajar. Menurutnya, selain peran guru yang menjadi garda terdepan dalam menyampaikan pesan-pesan agama yang moderat, terdapat produk kurikulum kekhasan SIM yang dikembangkan sedemikian rupa di tempat dirinya mengajar. Kurikulum ini menjadi nafas, kompas, dan panduan implementasi multikulturalisme di SIM.
“Alhamdulillah, di sini kita menerapkan kurikulum multikultural. Muatan kurikulum multikultural ini pada dasarnya mengarah pada upaya mengajarkan moderasi beragama kepada anak-anak kita sehingga mereka bisa hidup berdampingan, hidup penuh dengan toleransi saling menghargai,” tutur Rizal di Medan, dilansir dari laman Kemenag.go.id, Jumat (8/4/2022).
Pendekatan dan praktik seperti ini sejalan dengan salah satu dari sembilan nilai moderasi beragama, yakni cinta tanah air (muwathanah). “Secara praktis mereka kita ajarkan cara dan praktik baik agar mampu menjaga kebhinekaan yang ada di negara kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini,” imbuhnya.
Pimpinan Sekolah Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan Edy Jitro Sihombing menjelaskan, penerapan kurikulum yang bermuatan pendidikan multikultur didorong oleh latar beragamnya siswa yang belajar di sekolah yang dipimpinnya. Hal ini, menurutnya, sejalan dengan visi Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda, yaitu mendidik generasi muda Indonesia menjadi manusia yang cerdas, religius, dan humanis dalam bingkai kesetaraan dan keberagaman.
“Hal yang paling kita junjung tinggi di sini adalah bagaimana menciptakan anak-anak yang menghargai kebhinekaan, yang menghargai keberagaman bangsa, tanpa memandang perbedaan suku, agama, dan ras,” terang Edy.
Penerapan Pendidikan Multikultural di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda, lanjut Edi, dilaksanakan dengan berbagai langkah. Pertama, doa lintas agama pada kegiatan belajar mengajar di kelas dan upacara nasional, perayaan hari besar agama atau kegiatan pengayaan siswa. Kedua, pengintegrasian nilai-nilai multikultural dalam setiap pembelajaran.
Ketiga, mengadakan Kelas Agama Bersama dengan mengadakan diskusi dan dialog siswa lintas agama. Dialog membahas topik tertentu yang difasilitasi guru lintas agama yang bertujuan menanamkan ajaran agama yang inklusif.
“Pendidikan multikultural yaitu pendidikan keberagaman, itu semua kami integrasikan dalam setiap pembelajaran. Salah satu nilai multikultur itu adalah nilai-nilai religious, itu kami junjung tinggi di sekolah ini,” terangnya.
Ragam Rumah Ibadah
Salah satu yang unik di lingkungan SIM adalah berdirinya sejumlah tempat ibadah, mulai dari Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Semua tempat ibadah tersebut berdiri berdampingan.
Rizal menuturkan, tujuan dibangunnya ragam rumah ibadah di perguruan Sultan Iskandar Muda adalah untuk memberikan kesadaran kepada peserta didik bahwa mereka hidup berbeda-beda, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, berlainan agama, dan iman.
“Kita harus menghormati kenyataan hidup berdampingan dengan segala perbedaan, mengisinya dengan kasih sayang dan cinta. Dalam ajaran dan nilai Islam, inilah yang disebut dengan konsepsi rahmatan lil alamin,” terang Rizal.
Hal senada disampaikan Edy, bahwa dibangunnya rumah ibadah yang beraneka menjadi bagian dari fasilitas pendukung kegiatan belajar mengajar. Edy menambahkan, selain perangkat kurikulum multikulturalisme dan sumber daya manusia yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi, sarana penunjang juga harus dipenuhi.
“Fasilitas rumah-rumah ibadah untuk semua agama harus hadir di lingkungan sekolah sebagai media pembelajaran. Di sini ada masjid, gereja, vihara, dan pura. Biarpun pemeluk Agama Hindu hanya 100-an di SIM, tapi fasilitas rumah ibadahnya tetap kita bangun dan fasilitasi. Di SIM, kita tidak mengenal istilah mayoritas dan minoritas,” papar Edy.
Pada titik ini, lagi-lagi SIM telah mengembangkan nilai moderasi beragama, yakni tawasuth (berdiri di tengah-tengah) dalam menyikapi sekaligus melayani keberagaman yang ada.
Di tengah kondisi Indonesia yang multikultur, Edy mengajak semua elemen masyarakat, khususnya yang bergerak di bidang pendidikan, untuk menanamkan sikap toleran kepada peserta didik. Menurutnya, keberagamaan tersebut menjadi kekayaan dan kekuatan bangsa yang harus dirawat melalui bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
“Mari kita didik anak didik kita menjadi anak-anak yang nasionalis yang penuh kasih dan menghargai keberagaman yang ada, karena bangsa ini terdiri dari berbagai suku, agama, dan ras yang harus kita jaga dan rawat untuk kemajuan bangsa Indonesia,” pungkasnya. (SC03)