Pungutan PNBP dalam PP No. 85 Tahun 2021 Dinilai Rugikan Nelayan Kecil

Sumutcyber.com, Jakarta – Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan menyoroti adanya pungutan hasil perikanan yang bakal memberatkan dan merugikan nelayan kecil, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Menurutnya, walaupun pemerintah menargetkan realisasi PNBP sektor perikanan tangkap mencapai Rp1,67 triliun pada tahun 2022, namun untuk memenuhi target tersebut. “Harus ada klasifikasi khusus dan detail terkait siapa saja (objek PNBP) yang akan terkena kenaikan pungutan PNBP tersebut. Saya minta Nelayan kecil tidak boleh menjadi korban dari aturan kebijakan tersebut,” tegas Johan dalan siaran persnya, dilansir dari dpr.go.id, Selasa (9/11/2021).

Bacaan Lainnya

Politisi PKS ini melihat pada perhitungan pungutan PNBP dalam PP 85/2021 memiliki skema yang sedikit berbeda dengan PP 75/2015, khususnya terkait Harga Patokan Ikan  yang selama ini masih menggunakan Permendag No.13/2011 tentang Penetapan Harga Patokan Ikan (HPI). “Kenaikan tarif yang bervariasi pada berbagai jenis layanan ini sangat memberatkan nelayan kita mengingat jumlah tangkapan dan produktivitas dari nelayan kita yang terus turun setiap tahun,” ujarnya.

Johan juga mempertanyakan berubahnya definisi nelayan kecil yang dulu ada batasan ukuran Gross Tonnase (GT). Menurutnya kategorisasi nelayan kecil berdasarkan GT perlu dilakukan agar memudahkan nelayan kecil mendapatkan hak perlindungan dari Negara. “Pemerintah harus memastikan serta menjamin dampak yang bisa ditimbulkan dari naiknya pungutan PNBP khususnya bagi nelayan kecil,” tandasnya.

Dalam PP tersebut mengatur pungutan Hasil Perikanan Praproduksi dikenakan kepada Pelaku Usaha Perikanan Tangkap yang mengajukan permohonan perizinan berusaha subsektor penangkapan ikan baru atau perpanjangan dan diberikan pelabuhan pangkalan yang belum memenuhi syarat penarikan pascaproduksi. Berdasarkan hal ini, Johan meminta KKP untuk membatasi secara detail terkait syarat-syarat usaha perikanan yang hanya dikenai pungutan praproduksi.

Wakil rakyat dari dapil NTB ini melihat dengan adanya pajak pungutan diawal akan semakin memberatkan para nelayan untuk mempersiapkan aktivitas penangkapan ikan bahkan akan berhenti melakukan penangkapan ikan. “Jenis pungutan ini sangat merugikan nelayan karena harus membayar sebelum berlayar,” ujar Johan.

Legislator yang berasal dari Pulau Sumbawa ini menegaskan bahwa para nelayan telah banyak kesulitan dan menyampaikan aspirasinya bahwa mereka tidak setuju dengan jenis pungutan pra produksi yang didasarkan atas asumsi hasil tangkapan ikan maksimal, padahal dalam kenyataan nelayan dihadapkan pada banyak persoalan seperti faktor cuaca, dan lain-lain sehingga mereka berpotensi mengalami kerugian yang besar.

“Saya minta pemerintah meninjau ulang perhitungan indeks tarif PNBP ini sebab adanya potensi beban yang berat bagi usaha perikanan nasional dan berdampak merugikan nelayan kecil, saat ini mestinya sumberdaya perikanan diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat kelautan perikanan,” tutup Johan Rosihan. (SC03)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *