Pemprov Sumut Wacanakan Bangun Sekolah Perempuan

DR Ir Hj R Sabrina, Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Sumutcyber.com, Medan – Pemprov Sumut wacanakan bangun sekolah perempuan. Ini merupakan program nasional yang bertujuan agar kaum hawa di Provinsi Sumut mampu mengembangkan kepemimpinan yang memiliki kesadaran kritis, kepedulian, solidaritas, kecakapan hidup dan berkomitmen menjadi pelaku perubahan sosial agar terbebas dari kemiskinan.

Wacana ini terungkap dalam Fokus Grup Diskusi (FGD) yang diinisiasi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Sumut secara daring pada Kamis, 29 Juli 2021. FGD diikuti Kadis P3A Sumut, Nurlela, Dosen UMSU, R Sabrina, dan Laili Zailani selaku Ketua Dewan Pengurus Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (Hapsari).

Menurut Sabrina, latar belakang wacana sekolah perempuan ini disebabkan masih ada kesenjangan gender di sektor kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan hukum yang telah menghambat proses pembangunan sehingga pencapaian target IPM, IPG, dan IDG belum sesuai dengan harapan di Provinsi Sumut.

“Kesenjangan gender menunjukkan ketertinggalan kaum perempuan di beberapa sektor dibanding laki-laki terutama menimpa kaum perempuan rentan, marginal dan miskin sehingga kualitas hidup perempuan belum menjadi lebih baik di provinsi kita. Jika ingin cepat berhasil, maka harus dijamin bahwa perempuan dan laki-laki keduanya maju dan tidak ada yang tertinggal,” katanya mengangkat tema ‘Sekolah Perempuan Sumut, Peluang dan Tantangan’.

Bacaan Lainnya

“Tujuan utama sekolah perempuan adalah mengembangkan leadership atau kepemimpinan perempuan agar memiliki kesadaran kritis, kepedulian, solidaritas, kecakapan hidup dan berkomitmen menjadi pelaku perubahan sosial agar terbebas dari kemiskinan,” imbuh mantan Sekdaprovsu itu.

Arah dari kepemimpinan perempuan ini, kata dia, diorientasikan untuk memperjuangkan kesetaraan gender dan perdamaian di seluruh ranah, dimulai dari diri pribadi, keluarga, komunitas dan mendesakannya dalam kebijakan pemerintah.

Mengusung materi tema ‘Konsep Dasar dan Indikator Sekolah Perempuan Hebat”, Kadis P3A Sumut, Nurlela mengatakan, kesetaraan gender bertujuan untuk mengakhiri diskriminasi dan menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Namun pada kenyataannya dalam banyak aspek perempuan masih tertinggal sehingga potensi mereka sebagai pelaksana pembangunan tidak maksimal.

“Oleh karena itu, perlu ada upaya peningkatan kemampuan perempuan, salah satunya dengan memberikan pendidikan melalui ‘Sekolah Perempuan’. Gagasan sekolah perempuan sudah ada sejak 1904; Dewi Sartika mendirikan sekolah yang dikhususkan untuk kaum perempuan. Para perempuan pribumi belajar membaca, menulis, berhitung, bahkan belajar menjahit, merenda dan belajar agama,” katanya.

Sebagai dasar membangun sekolah perempuan, ia mengakui salah satunya berdasarkan 5 arahan presiden dalam pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak 2020-2024. Yakni antara lain: Peningkatan Pemberdayaan  Perempuan dalam Kewirausahaan  Berperspektif Gender; Peningkatan Peran Ibu/Keluarga dalam Pengasuhan/ Pendidikan Anak; Penurunan Kekerasan  Terhadap Perempuan dan Anak; Penurunan  Pekerja Anak Pencegahan Perkawinan Anak.

“Kesetaraan gender juga menjadi prinsip  dalam pelaksanaan pencapaian SDGs: Tujuan utamanya adalah meningkatkan kualitas hidup manusia tanpa terkecuali; Laki-laki dan perempuan memiliki kontribusi pada pencapaian indikator kualitas hidup manusia. Sebab perempuan saat ini masih menjadi kelompok masyarakat yang tertinggal di berbagai aspek pembangunan; Jika ada yang tertinggal (termasuk  perempuan) maka capaian indikatornya akan rendah,” urainya.

Sekolah perempuan nantinya, menurut dia, merupakan sekolah informal dengan peserta berasal dari beragam etnis, suku, agama, gender, usia dan kemampuan fisik. Adapun untuk penyelengaraannya, dilakukan  secara intensif setiap 1 atau 2 minggu dan dilaksanakan pada rumah kosong, lahan kosong, pinggir sungai, dikantor RW atau balai desa. “Dan penyelenggaraan sekolah perempuan ditanggungjawabi oleh pemkab/pemda, individu, lembaga masyarakat, atau keluarga masyarakat,” pungkasnya.

Laili Zailani menyebut, sekolah perempuan merupakan strategi dan model pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang sistematis dan jangka panjang atau idak bisa dilakukan sendiri-sendiri.

Pihaknya sendiri telah melaksanakan sekolah perempuan ini melalui model pendekatan dan advokasi. Adapun model pendekatan yakni akan berisi program-program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Untuk model advokasi yakni berisi advokasi-advokasi penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak, pencegahan pernikahan anak, dan penurunan pekerja anak.

Sementara model untuk membangun sinergi dan kolaborasi yakni kemitraan strategis untuk mempercepat pencapaian tujuan kesetaraan gender (pemerintahan, perguruan tinggi, lembaga masyarakat, organisasi masyarakat, maupun pihak swasta). Model lain pemberdayaan perempuan dan untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dibentuk oleh HAPSARI yakni Layanan Berbasis Komunitas (LBK) dengan strategi advokasi yakni pengorganisasian komunitas-komunitas perempuan, penguatan kapasitas kepemimpinan perempuan untuk menciptakan perempuan-perempuan yang mampu membangun LBK-LBK lainnya, dan advokasi kebijakan.

“Selama masih ada ketidakadilan gender maupun kekerasan terhadap perempuan, maka Sekolah Pemberdayaan Perempuan masih akan terus diperlukan. Penanganan awal korban kekerasan dapat di respons oleh LBK. Model LBK yang lebih kecil dari sekolah perempuan dimulai dari kepemimpinan perempuan penggerak sekolah perempuan,” katanya.

Hasilnya, sebut dia, sekolah perempuan mungkin dilakukan dan memberikan dampak karena lebih 300 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di 3 labupaten (Labuhan Batu, Deli Serdang, dan Serdang Bedagai) sepanjang 2016 – 2020 telah diadvokasi (hasil dari sinergi berbagai pihak).

Dengan adanya LBK oleh HAPSARI maka telah tersedia layanan yang berkualitas yang berpihak pada kepentingan korban; lebih banyak pihak yang terlibat (kerja sinergi dan kolaborasi); mengubah pola pikir untuk meningkatkan kepedulian masyarakat, keberanian korban untuk melapor, dukungan keluarga; perlindungan bagi pendamping korban; serta penanganan secara mandiri dan Keberlanjutan Layanan. (SC03)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *