Medan – Pemerintahan baru di era Presiden dan Wapres terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berencana memisahkan Pemasyarakatan dan Imigrasi dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Wacana pemisahan ini terus menjadi bahan diskusi.
Pengamat Kebijakan Publik Elfenda Ananda mengatakan, wacana pemisahan Lapas dan Imigrasi dari Kemenkumham sebenarnya merupakan kewenangan presiden terpilih, namun dampak dari segi anggaran harus dipertimbangkan dengan matang.
“Dari sisi anggaran apabila dipisahkan tentunya akan berdampak pada besaran anggaran yang dibutuhkan yang awalnya kantornya hanya satu saja, setelah dipisah akan menjadi dua,” kata Elfenda, Selasa (15/10/2024).
Menurutnya, selama ini, walaupun urusan Lapas dan Imigrasi berada di bawah satu atap Kemenkumham, kedua sektor ini sudah memiliki tugas dan fungsi (tupoksi) yang jelas. “Selama ini, dengan penggabungan (Kementerian Hukum dan HAM) urusan imigrasi dan Lapas terpisah urusannya. Jadi, masing masing tupoksinya ada sehingga tidak ada halangan secara teknis untuk melakukan tugasnya. Masalah utama yang ada saat ini adalah Lapas yang mengalami overkapasitas, sehingga tidak layak untuk pembinaan narapidana,” tambahnya.
Ia menyoroti bahwa selain masalah overkapasitas, Lapas juga kerap menjadi pusat kendali transaksi narkoba. Namun, Elfanda menegaskan bahwa pemisahan kementerian tidak akan menyelesaikan masalah ini.
“Sebenarnya pemisahan kementerian bukan jalan keluar. Toh kalau anggaran kementrian hukum dan HAM sebelumnya itu besar bisa membangun lapas yang memenuhi standar serta jumlah petugas mencukupi sebenarnya tidak ada masalah. Persoalannya, anggaran terbatas dan penghuni lapas terus meningkat jumlahnya dengan berbagai macam kasus. Problem negara ini sangat kompleks terutama dalam penegakan hukum,” tegasnya.
Elfanda juga menyinggung keterbatasan anggaran dan meningkatnya jumlah penghuni Lapas sebagai akar masalah yang harus segera diselesaikan.
“Selain itu, dengan banyaknya kasus kasus yang ada seperti narkoba, kriminalitas kekerasan, pencurian dan sebagainya menunjukkan bahwa pemerintah masih lemah dalam mengatasi persoalan munculnya permasalahn hukum tersebut,” ujarnya.
Selain itu, ia menyampaikan bahwa Kemenkumham tidak dapat bekerja sendiri dalam menangani masalah di masyarakat. “Kementerian Hukum dan HAM tidak bisa bekerja sendiri dalam menekan kasus-kasus kriminal. Sebab, kasus kasus tersebut muncul bisa salah satunya disebabkan oleh permasalahan ekonomi masyarakat,” jelas Elfenda.
Dalam urusan Imigrasi, Elfanda juga menilai pemisahan bukanlah solusi efektif. Ia menyoroti antrean panjang dalam pengurusan paspor dan pengawasan Warga Negara Asing (WNA). “Pemisahan ini bukan juga solusi kalau pihak keimigrasian dapat meningkatkan kualitas layanan keimigrasian selama ini. Walaupun selama ini sudah menggunakan sistim pelayanan digital, namun daftar slot waktu yang tersedia selalu penuh. Sehingga pengurusan paspor jadi terkendala disisi waktu dan kepastian slot waktu yang tersedia, tidak ada penjelasan dari pihak imigrasi kenapa hal ini bisa terjadi Padahal, dengan sistem digital harusnya pengaturan pengurusan paspor lebih mudah dan tidak perlu banyak persoalan,” tambahnya.
Menurut Elfanda, pemisahan ini tidak akan menyelesaikan masalah jika pelayanan tidak ditingkatkan secara signifikan. “Tidak ada relevansinya dengan pemisahan Kementerian hukum dan HAM dengan urusan keimigrasian. Sebab, selama ini secara urusan juga terpisah dengan lapas. Yang penting adalah bagaimana kualitas layanan kepada masyarakat dapat ditingkatkan,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa pemisahan kementerian mungkin akan membuat menteri yang bertanggung jawab lebih fokus pada satu bidang tertentu. “Memang, kalau pemisahan dilakukan kemungkinan potensi keuntungan kerja Menteri lebih dipersempit dan bisa focus. Kementerian hukum bisa focus pada persoalan penanganan hukum, persoalan Lapas dan mengkaji kebijakan hukum yang ada berikut problemanya. Harapannya dengan focusnya Kementerian hanya menangani persoalan hukum saja diharapkan akan membawa dampak positif bagi penegakan hukum. Walaupun terkadang sulit berharap lebih dalam melihat praktik hukum direpublik ini karena selalu saja ada intervensi kekuasaan. Begitu juga urusan keimigrasian dengan pemisahan diharapkan pelayanan kepada masyarakat bisa meningkat karena menterinya focus pada satu urusan,” ungkapnya.
Namun, Elfanda mengingatkan bahwa pemisahan akan berdampak pada pembengkakan anggaran. “Namun, pemisahan ini berdampak pada anggaran Kementerian yang membengkak, sementara APBN bebannya sangatlah berat.
Jika dilakukan pemisahan, organisasi Kementerian hukum dan HAM ini struktur harus ramping dan focus dalam penanganan persoalan bidang masing masing. Konsistensi kebijakan yang dibangun dalam organisasi Kementerian setelah dipisah menjadi penting agar kebijakan yang dijalankan lebih efektif,” imbuhnya.
Selain anggaran, Elfanda menekankan pentingnya peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM). “Dalam era digitalisasi, pelayanan semakin bergantung pada internet dan aplikasi. Kemampuan SDM harus ditingkatkan melalui pelatihan dan pendidikan, serta inovasi dalam pelayanan agar lebih cepat dan mudah diakses, terutama bagi masyarakat yang berada di daerah terpencil,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa pemisahan kementerian tidak serta-merta meningkatkan transparansi. “Persoalan transparansi sebenarnya merupakan prasyarat mutlak bagi setiap kementerian, baik sebelum maupun sesudah dipisah. Kementerian yang mengelola dana publik harus transparan dalam pengelolaan anggaran, terutama terkait hukum dan HAM,” kata Elfenda.
Di akhir pandangannya, Elfanda menegaskan bahwa pemisahan ini harus dipertimbangkan dengan sangat matang. “Sebaiknya, rencana pemisahan ini dipertimbangkan dari sisi kemampuan APBN. Jangan sampai niat pemisahan ini hanya untuk bagi-bagi kekuasaan, sementara tujuan utamanya, yaitu peningkatan pelayanan publik, tidak tercapai,” tutup Elfenda. (SC03)