MK Tolak Permohonan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud

Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024, Senin (22/04) di Ruang Sidang MK. (Sumber: mkri.id)

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 1 dan 2,.Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar (Anies-Muhaimin) dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Presiden) Tahun 2024.

Hal ini terungkap dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 pada di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2024).

Mahkamah berpendapat, Permohonan Anies-Muhaimin tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Alhasil, dalam amar putusan, Mahkamah menolak seluruh permohonan Anies-Muhaimin.

“Amar putusan, mengadili: dalam eksepsi, menolak eksepsi Termohon dan Pihak Terkait untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dilansir dari laman mkri.id, Senin (22/4/2024).

Bacaan Lainnya

MK dalam pertimbangan hukumnya mengelompokkan dalil-dalil Anies-Muhaimin menjadi enam klaster. Pertama, independensi penyelenggara pemilu. Kedua, Keabsahan pencalonan presiden dan wakil presiden. Ketiga, bantuan sosial (Bansos). Keempat, Mobilisasi/netralitas pejabat/aparatur negara. Kelima, prosedur penyelenggaraan pemilu. Keenam, pemanfaatan aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap).

Independensi Penyelenggara Pemilu

Mahkamah menyatakan tidak beralasan menurut hukum atas dalil Anies-Muhaimin ihwal pengangkatan tim seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) oleh Presiden melanggar Pasal 22 ayat (3) UU Pemilu karena memasukkan unsur pemerintah lebih dari tiga orang. Mahkamah tidak menemukan fakta adanya keberatan dari DPR berkenaan dengan komposisi anggota tim seleksi. Padahal sebagian dari fraksi DPR yang merupakan kepanjangan tangan partai politik pendukung Anies-Muhaimin yang semestinya dapat mengajukan keberatan sejak awal.

Namun, jikapun benar terdapat unsur pemerintah melebihi tiga orang, sulit bagi Mahkamah menemukan korelasi antara jumlah tersebut dengan independensi anggota KPU atau anggota Bawaslu dalam menjalankan tugasnya menyelenggarakan pemilu. Terlebih, sulit pula bagi Mahkamah untuk menemukan korelasi jumlah unsur tim seleksi tersebut dengan perolehan suara pasangan calon presiden dan wakil presiden Pemilu 2024.

Kemudian, dalil Pemohon mengenai Bawaslu tidak menindaklanjuti dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran) selaku Pihak Terkait dengan alasan kurang bukti materiil adalah tidak beralasan menurut hukum. Mahkamah menegaskan, dalam rangka perbaikan ke depan agar pengawasan Bawaslu memberi manfaat lebih untuk mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas, maka perlu dilakukan perubahan mendasar pengaturan tentang pengawasan pemilu, termasuk tata cara penindakannya jika terjadi pelanggaran pada setiap tahapan pemilu.

Menurut Mahkamah, Bawaslu harus masuk ke dalam substansi laporan atau temuan untuk membuktikan ada atau tidaknya secara substansial telah terjadi pelanggaran pemilu, termasuk dalam hal ini pemilihan kepala daerah (pilkada/pemilukada). Artinya, bilamana perubahan dimaksud tidak dilakukan, hal demikian akan mengancam terwujudnya pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas. Dengan adanya ancaman seperti itu, dapat menyebabkan Bawaslu kehilangan eksistensinya sebagai lembaga pengawas pemilu untuk mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas.

Keabsahan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden

Mahkamah juga menyatakan tidak beralasan menurut hukum atas dalil Anies-Muhaimin yang menyatakan terjadi intervensi presiden dalam perubahan syarat pasangan calon dan dalil Pemohon berkenaan dengan dugaan ketidaknetralan KPU dalam memverifikasi dan menetapkan pasangan calon yang menguntungkan pasangan calon nomor urut 2. Berdasar hal ini Anies-Muhaimin memohon agar Mahkamah membatalkan atau mendiskualifikasi Prabowo-Gibran.

Menurut Mahkamah, tindakan KPU yang langsung menerapkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tanpa mengubah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 adalah tidak melanggar hukum. Apabila KPU tidak langsung melaksanakan Putusan MK Nomor 90, justru akan mengganggu tahapan pelaksanaan pemilu dan berpotensi menciptakan pelanggaran hak konstitusional warga negara untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden.

Meskipun KPU selaku penyelenggara pemilu berkewajiban menerapkan putusan MK yang dapat memengaruhi norma berkenaan dengan proses pencalonan presiden dan wakil presiden tahun 2024, tetapi KPU juga terikat dengan jadwal dan tahapan yang telah ditetapkan. Tenggat waktu pendaftaran pasangan calon sudah harus ditutup pada 25 Oktober 2023. Kendati demikian, seyogyanya KPU juga tetap mengupayakan perubahan PKPU termasuk berkonsultasi dengan DPR untuk melakukan penyesuaian syarat sebagaimana Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Hal tersebut kemudian berujung pada putusan DKPP Nomor 135, 136, 137, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023 pada 5 Februari 2024 yang menyatakan tindakan KPU yang mendahulukan tindakan administratif merupakan pelanggaran kode etik karena tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu dan bertentangan dengan ketentuan peraturan KPU dan UU Pemilu. Sebagai konsekuensinya, terjadi pelanggaran etik yang berujung pada penjatuhan sanksi peringatan keras dan sanksi peringatan keras terakhir terhadap komisioner KPU oleh DKPP. Namun, substansi putusan mengenai dugaan pelanggaran etik tersebut tidak serta merta dapat dijadikan alasan bagi Mahkamah untuk membatalkan hasil verifikasi dan penetapan pasangan calon yang ditetapkan KPU. DKPP hanya mempersoalkan tindakan KPU yang tidak segera menyusun rancangan perubahan PKPU Nomor 19 Tahun 2023 sebagai tindak lanjut Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, bukan mempersoalkan atau membatalkan pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02. Tidak ada satu pun pasangan calon yang mengajukan keberatan terhadap penetapan pasangan calon nomor urut 02, termasuk juga Pemohon.

Di samping itu, menurut Mahkamah, adanya putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 2/MKMK/L/11/2023 yang menyatakan adanya pelanggaran berat etik dalam pengambilan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak serta-merta dapat menjadi bukti yang cukup untuk meyakinkan Mahkamah telah terjadi tindakan nepotisme yang melahirkan abuse of power presiden dalam perubahan syarat pasangan calon tersebut. Terlebih, kesimpulan putusan MKMK Nomor 2/2023 itu sendiri yang kemudian dikutip dalam Putusan MK Nomor 141/PUU-XXI/2023 antara lain menegaskan MKMK tidak berwenang membatalkan keberlakuan Putusan MK. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, tidak terdapat permasalahan dalam keterpenuhan syarat tersebut bagi Gibran Rakabuming Raka selaku calon wakil presiden dari Pihak Terkait dan hasil verifikasi serta penetapan pasangan calon yang dilakukan KPU.

Terhadap dalil Pemohon berkenaan dengan KPU memanipulasi hasil verifikasi partai politik dengan meloloskan seluruh partai politik untuk menjadi peserta pemilu, menurut Mahkamah, dalil tersebut tidak didukung dengan bukti yang meyakinkan, karena berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan proses tahapan verifikasi partai politik telah diawasi Bawaslu. Dengan demikian, dalil permohonan tersebut harus dikesampingkan dan tidak beralasan menurut hukum.

Bansos

Mahkamah mencermati secara seksama keterangan para pihak, termasuk keterangan para menteri serta dokumen yang diserahkan sebagai data dan/atau alat bukti pendukung. Mahkamah menemukan fakta hukum bahwa program bantuan sosial (bansos) yang merupakan bagian dari program perlindungan sosial (perlinsos) telah diatur dalam UU APBN TA 2024, khususnya Pasal 8 ayat (2) huruf a dan Penjelasannya serta Pasal 20 ayat (1) huruf h berserta Penjelasannya. Dari total belanja Rp 3.325,1 triliun yang direncanakan dalam APBN, sebanyak Rp 496,8 triliun dianggarkan untuk program perlinsos. Mahkamah menilai perencanaan dan distribusi bansos merupakan tindakan yang sah secara hukum/legal karena memang terdapat peraturan perundang-undangan yang melandasinya.

Mengenai adanya kecurigaan terdapat intensi tertentu dalam penyusunan program perlinsos, Mahkamah tidak dapat mengetahui intensi/niat lain di luar tujuan penyaluran dana perlinsos sebagaimana yang disampaikan para menteri dalam persidangan khususnya Menteri Keuangan. Dalam persidangan Mahkamah juga tidak mendapatkan bukti yang meyakinkan kebenaran dalil Pemohon terkait adanya intensi lain. Jika terjadi penyalahgunaan anggaran terkait dengan penyaluran dana perlinsos, maka menadi ranag lembaga penegak hukum untuk menindaklanjutinya.

Apabila ditujukan sebagai antisipasi maka sudah pada tempatnya perlinsos dilaksanakan sebelum terjadinya suatu bencana alam (praperistiwa). Sedangkan jika bertujuan sebagai mitigasi maka pelaksanaan perlinsos dilakukan setelah terjadinya peristiwa (pascaperistiwa). Dengan demikian, menurut Mahkamah, program perlinsos memang dapat dan lazim dilakukan sebelum maupun setelah suatu bencana.

Menurut Mahkamah, tidak terdapat kejanggalan atau pelanggaran peraturan penggunaan anggaran perlinsos sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Sebab, pelaksanaan anggaran telah diatur secara jelas mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban, termasuk pelaksanaan anggaran bansos yang disalurkan secara sekaligus (rapel) dan yang langsung disalurkan oleh presiden dan menteri merupakan bagian dari siklus anggaran yang telah diatur penggunaan dan pelaksanaannya. Terhadap dalil Pemohon, menurut Mahkamah, tidak terdapat alat bukti yang secara empiris menunjukkan bansos telah memengaruhi atau mengarahkan secara paksa pilihan pemilih.

Pemohon tidak dapat meyakinkan Mahkamah apakah bantuan yang dimaksud Pemohon adalah bansos oleh Kementerian Sosial atau bantuan kemasyarakatan oleh Presiden yang bersumber dana operasional Presiden. Terhadap dalil Pemohon yang mengaitkan bansos dengan pilihan pemilih, Mahkamah tidak meyakini adanya hubungan kausalitas atau relevansi antara penyaluran bansos dan peningkatan perolehan suara salah satu pasangan calon.

Mobilitas, Netralitas Penjabat Negara

Mahkamah mempertimbangkan dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang telah ditindaklanjuti Bawaslu sesuai dengan tugas, kewenangan, dan kewajibannya. Adapun Bawaslu tidak dapat menindaklanjuti laporan atau temuan terhadap peristiwa tersebut disebabkan tidak adanya pengaturan terkait dengan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kampanye dan dilakukan sebelum masa kampanye dimulai. Dalam hal ini, pengaturan yang terdapat dalam UU maupun PKPU tidak memberikan pengaturan lebih lanjut terhadap segala bentuk tindakan dan kegiatan yang memberikan dukungan kepada peserta pemilu sebelum dan sesudah masa kampanye. Kekosongan hukum demikian menjadi perhatian serius untuk pelaksanaan pemilu ke depan termasuk pemilihan kepala daerah yang akan datang.

Di samping itu, Bawaslu belum memperhatikan aspek lain seperti penggunaan fasilitas negara, citra diri, dilakukan dalam pelaksanaan tugas penyelenggara negara, maupun waktu pelaksanaan yang berada dalam tahapan kampanye pemilu. Hal demikian terjadi karena tidak adanya persyaratan baku maupun tata urut atau pisau analisis yang harus digunakan oleh Bawaslu dalam menentukan bagaimana suatu peristiwa dianggap memenuhi atau tidak memenuhi syarat materiil, sehingga menyebabkan penarikan kesimpulan dari peristiwa yang diduga terdapat pelanggaran pemilu tidak dilakukan secara komprehensif. Sementara, Mahkamah tidak dapat mempertimbangkan lebih lanjut berkenaan hal tersebut sehingga Mahkamah tidak mendapat keyakinan akan kebenaran dalil Pemohon. Hal yang sama juga tidak jauh berbeda terhadap dalil Pemohon atas kegiatan yang diduga menguntungkan pasangan calon tertentu oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang notabenenya merupakan calon presiden.

Prosedur Penyelenggaraan Pemilu

Pemohon mendalilkan terdapat sejumlah kejanggalan dalam daftar pemilih tetap (DPT) di sejumlah daerah, seperti adanya pemilih berusia di bawah 17 tahun, pemilih yang berusia 1.030 tahun, pemilih berusia di atas 100 tahun. Kemudian adanya nama orang yang hanya terdiri dari satu huruf dan dua huruf, alamat pemilih yang RT, RW, serta RT sekaligus RW-nya angka nol, dan adanya pemilih dalam DPT yang memiliki kesamaan identitas RT, RW, dan TPS.

Ada pula dalil Pemohon mengenai tercoblosnya surat suara untuk pasangan calon nomor urut 2, pemilih yang mencoblos lebih dari sekali, serta politik uang berupa penyuapan terhadap Panitia Pemungutan Suara (PPS).

Namun, Mahkamah menyatakan, Pemohon tidak dapat membuktikan dalil dimaksud. Sehingga dalil-dalil atas dugaan pelanggaran prosedur penyelenggaraan pemilu tidak beralasan menurut hukum.

Pemanfaatan Aplikasi Sirekap

Dalam peraturan dan keputusan KPU, Sirekap dinyatakan sebagai sarana publikasi dan alat bantu rekapitulasi hasil penghitungan suara dan juga dirancang untuk mendukung rekapitulasi sejak tahap pemungutan suara di TPS, penghitungan suara rekapitulasi hasil penghitungan suara, hingga tahapan penetapan pasangan calon terpilih, penetapan perolehan kursi, dan penetapan calon terpilih dalam Pemilu 2024. Dalil Pemohon yang menyatakan perolehan suara dapat diubah oleh Sirekap bahkan terjadi penghilangan metadata Formulir C.Plano Hasil dibantah ahli dan saksi KPU, meskipun ahli dan saksi KPU juga tidak membantah perubahan-perubahan data dalam Sirekap.

Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah menyebutkan, perubahan-perubahan data yang terjadi pada Sirekap web telah menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Sirekap web yang dibuat sebagai sarana publikasi dan informasi kepada masyarakat terkait dengan hasil pemilu justru menimbulkan asumsi dan penafsiran yang berkembang liar di masyarakat.

Hal demikian, lanjut Ridwan, seyogyanya menjadi catatan bagi penyelenggara. Sistem IT yang seharusnya menjadi alat bantu penting dengan tugas-tugas yang telah diatur dalam peraturan dan keputusan KPU, justru terkesan tidak memberikan kepastian, meskipun terlihat adanya fluktuasi perubahan data sebagai akibat dari pembetulan dan pemutakhiran data di tingkat KPPS. Terlebih, keputusan KPU untuk menghentikan sementara Sirekap web sehingga tidak bisa diakses masyarakat semakin menambah kesan dan asumsi yang negatif di masyarakat.

“Bahwa persoalan-persoalan penggunaan dan pengaplikasian Sirekap dalam proses penghitungan sampai rekapitulasi suara yang didalilkan Pemohon, bahkan diakui oleh Termohon (KPU), mengarahkan Mahkamah pada kesimpulan bahwa data dalam Sirekap jika tidak dilakukan validasi akan menjadi data yang kurang akurat,” jelas Ridwan.

Penyempurnaan UU Pemilu, UU Pilkada, Peraturan KPU, dan Peraturan Bawaslu

Ketua MK Suhartoyo saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah menyebutkan, terdapat beberapa kelemahan dalam peraturan perundangan-undangan yang mengatur terkait dengan pemilihan umum dalam UU Pemilu, PKPU, maupun Peraturan Bawaslu sehingga pada akhirnya menimbulkan kebuntuan bagi penyelenggara pemilu, khususnya bagi Bawaslu dalam upaya penindakan terhadap pelanggaran pemilu. UU Pemilu belum memberikan pengaturan mengenai kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kampanye yang dilakukan sebelum dan setelah masa kampanye dimulai.

Padahal Pasal 283 ayat (1) UU Pemilu telah menyebutkan larangan bagi pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta ASN untuk mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Namun, pasal-pasal berikutnya dalam UU Pemilu tersebut tidak memberikan pengaturan tentang kegiatan kampanye sebelum maupun setelah masa kampanye.

“Ketiadaan pengaturan tersebut memberikan celah bagi pelanggaran pemilu yang lepas dari jeratan hukum ataupun sanksi administrasi,” kata Suhartoyo.

Demi memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pelaksanaan pemilu maupun pemilihan kepala daerah selanjutnya, menurut Mahkamah, ke depan pemerintah dan DPR penting melakukan penyempurnaan terhadap UU Pemilu, UU Pilkada, maupun peraturan perundangan-undangan yang mengatur terkait dengan kampanye, baik berkaitan dengan pelanggaran administratif dan jika perlu pelanggaran pidana pemilu. Demikian halnya, jika ada pengaturan yang saling berkelindan sehingga menimbulkan ambiguitas, hal tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan yang perlu dilakukan penyempurnaan oleh pembentuk undang-undang.

Pendapat Berbeda

Pertama kali dalam sejarah, putusan dalam perkara PHPU diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion). Tiga Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan pendapat berbeda dalam Putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024.

Saldi menyatakan, seharusnya Mahkamah memerintahkan pelaksanaan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sepanjang berkenaan dengan politisasi bansos dan mobilisasi aparat/aparatur negara/penyelenggara negara adalah beralasan menurut hukum. “Seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah,” kata Saldi.

Hal yang sama juga disampaikan Enny Nurbaningsih. Menurut Enny, untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang karena diyakini telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi pada beberapa daerah.

Sementara, Arief Hidayat mengatakan, seharusnya Mahkamah memerintahkan KPU untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di daerah pemilihan Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara dalam waktu 60 hari. Menurut Arief, seharusnya Mahkamah juga melarang adanya pembagian bansos sebelum dan pada saat pemungutan suara ulang.

Dalil Ganjar-Mahfud Juga Ditolak

Majelis Hakim Konstitusi menyatakan dalil-dalil Perkara Nomor 2/PHP.PRES-XXII/2024 tidak beralasan menurut hukum. Putusan ini dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo pada Senin (22/4/2024) siang dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1, MK Jakarta.

Terhadap dalil-dalil Pemohon ini, Mahkamah membaginya menjadi enam klaster yakni independensi penyelenggara pemilu; keabsahan pencalonan presiden dan wakil presiden; bantuan sosial; mobilisasi/netralitas pejabat negara; prosedur penyelenggaraan pemilu; dan pemanfaatan aplikasi sistem informasi rekapitulasi elektronik (Sirekap). Dalam persidangan ini, Mahkamah tidak hanya mengemukakan persoalan hukum dalam PHPU Pilpres 2024, melainkan memberikan beberapa rekomendasi bagi penyelenggara pemilu dalam menyiapkan pesta berkala lima tahunan bagi seluruh warga negara Indonesia ini.

Salah satunya mengenai persoalan penggunaan dan pengaplikasian Sirekap dalam proses penghitungan sampai rekapitulasi suara yang didalilkan Pemohon. Bahwa Komisi Pemilihan Umum (Termohon) mengakui data dalam Sirekap tidak dilakukan validasi sehingga menjadi data yang kurang akurat. Hal ini diakui oleh Ahli Termohon Marsudi Wahyu K. yang menyebutkan akurasi menjadi kekurangan dari aplikasi Sirekap. Akibatnya data yang ada pada aplikasi Sirekap tidak memberikan kepastian dan bahkan menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Padahal Mahkamah melihat aplikasi Sirekap telah melalui proses audit oleh Direktorat Alih dan Sistem Audit Teknologi Badan Riset dan Inovasi Nasional dan Badan Siber dan Sandi Negara. Selain itu, teknologi yang dikembangkan pada aplikasi Sirekap sebentuk perbaikan dari aplikasi Situng yang dipakai pada Pemilu 2019 lalu.

Persoalan akurasi data pada aplikasi Sirekap ini pada akhirnya bagi Termohon tidak difungsikan sebagai dasar penghitungan resmi suara hasil Pemilu 2024. Data yang digunakan sebagai dasar penetapan hasil perolehan suara pasangan calon secara resmi yakni data hasil penghitungan manual secara berjenjang. Sementara Sirekap difungsikan sebagai alat bantu untuk keterbukaan informasi dan memberi ruang pada masyarakat untuk menjaga lebih awal pergerakan suara hasil penghitungan dari tingkat TPS.

Terkait dengan penggunaan Sirekap, menurut Mahkamah, dalam rangka perbaikan ke depan, Sirekap sebagai alat bantu untuk kepentingan transparansi dan mengawal suara pemilih untuk diketahui lebih awal, teknologinya harus terus dikembangkan sehingga tidak ada keraguan dengan data yang ditampilkan oleh Sirekap.

“Untuk itu, sebelum Sirekap digunakan perlu dilakukan audit oleh lembaga yang berkompeten dan mandiri. Di samping itu untuk menjaga objektivitas dan validitas data yang diunggah, perlu dibuka kemungkinan pengelolaan Sirekap dilakukan oleh lembaga yang bukan penyelenggara pemilu. Oleh karenanya, Mahkamah menilai dalil Pemohon berkenaan dengan Sirekap adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Suhartoyo.

Perbaikan Sistem Kerja Bawaslu

Kemudian Mahkamah mengungkapkan dalil-dalil permohonan Pemohon mengenai adanya dugaan pelanggaran pemilihan umum, meskipun ketentuan UU Pemilu telah mengatur tentang penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilu oleh Bawaslu. Mahkamah menilai ke depan perlu adanya evaluasi dan perbaikan terhadap sistem kerja Bawaslu dalam menangani laporan dugaan pelanggaran yang diajukan Pelapor. Di samping itu, Bawaslu perlu pula menetapkan standar yang jelas dan tegas mengenai penerapan syarat formil dan materiil dalam penilaian suatu laporan khususnya dalam kajian awal yang dilakukan Bawaslu.

Mengingat Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum terkait Syarat Formal dan Materiil dalam Kajian Awal yang menyebutkan syarat formal dan materiil laporan. Akan tetapi sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon, terdapat banyak laporan yang tidak ditindaklanjuti dengan alasan, baik tidak memenuhi syarat formil dan materiil ataupun salah satu syarat tersebut. oleh karenanya, Mahkamah menilai penting ditegaskan agar tidak ada lagi laporan kepada Bawaslu yang ditindaklanjuti yang tidak tuntas atau belum diberi penjelasan.

Terkait dengan kinerja Bawaslu ini, Pemohon juga mendalilkan adanya penghitungan suara yang dilakukan sebelum waktu pemungutan selesai pada 3.463 TPS. Mahkamah berpedoman pada laporan Bawaslu yang telah merinci jumlah TPS yang melakukan pelanggaran sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon tersebut. Akan tetapi terhadap dalil demikian, Suhartoyo menyebut Pemohon tidak dapat memberikan rincian TPS sebagai tempat kejadian pelanggaran yang dimaksudkan. Akibatnya hal itu menyulitkan Mahkamah untuk memeriksa lebih lanjut.

Abuse of Power

Mahkamah juga memberikan pertimbangan mengenai dalil Pemohon atas nepotisme yang dilakukan Presiden Joko Widodo dan melahirkan abuse of power yang terkoordinasi dengan tujuan memenangkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Dalam hal ini, Mahkamah menegaskan kembali kewenangannya untuk masuk dan menilai lebih dalam proses penyelenggaraan pemilu. Terhadap penyelesaian pelanggaran tersebut Mahkamah bukan dalam posisi untuk memberikan penilaian terhadap proses penyelesaian yang telah dilakukan oleh Bawaslu, melainkan memastikan Bawaslu telah melaksanakan kewenangan dan bertindak dengan tepat sesuai dengan asas dan hukum pemilu yang berlaku.

Proses penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Bawaslu menjadi sebuah database pengawasan sekaligus sebagai rekam jejak perolehan suara masing-masing pasangan calon yang sewaktu-waktu dapat dibuka kembali untuk menjadi rujukan dalam persidangan PHPU di Mahkamah. Berdasarkan hal tersebut, meskipun Mahkamah tidak terikat pada hasil pelaksanaan kewenangan Bawaslu namun ketidakmampuan Pemohon menjelaskan hubungan kausalitas antara pelanggaran tersebut dengan kebebasan pemilih dalam menentukan pilihannya.

“Ditambah pula Mahkamah tidak mendapatkan bukti yang meyakinkan peristiwa yang dikatakan memberikan dampak secara nyata memengaruhi para pemilih pada suatu wilayah. Bahkan Pemohon dalam persidangan tidak dapat membuktikan pengaruh signifikansinya terhadap perolehan suara masing-masing pasangan calon. Dikarenakan tidak didukung dengan bukti lain yang meyakinkan Mahkamah dengan berbagai peristiwa tersebut, maka adanya migrasi perolehan suara yang merugikan Pemohon dan menguntungkan Pihak Terkait tersebut tidak beralasan menurut hukum,” urai Suhartoyo.

Etika Kehidupan Berbangsa dan Berpolitik

Dalam pendapat berbeda, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyoroti tentang keberadaan bansos pada penyelenggaraan Pemilu 2024. Enny berpendapat sekalipun tidak ada larangan pemberian bansos dengan menggunakan DOP, namun sejalan dengan makna “Etika Kehidupan Berbangsa” penting untuk dilaksanakan secara bijaksana, demi menjamin pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Sehingga seorang pemimpin diharapkan memenuhi standar yang lebih tinggi daripada yang diperlukan dalam kehidupan pribadi.

Pemimpin mungkin memiliki sedikit hak privasi dibandingkan dengan warga biasa, bahkan tidak memiliki hak untuk menggunakan jabatan mereka demi keuntungan pribadi, keluarga, dan golongan. Oleh karena itu, seorang pemimpin diwajibkan memahami dan menerapkan pentingnya integritas dan tanggung jawab dalam memegang kekuasaan publik, serta perlunya menjaga pemisahan yang jelas antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Terlebih, dalam konteks penggunaan DOP yang berasal dari APBN untuk bantuan kemasyarakatan menjelang Pemilu 2024 tidak dapat dihindari adanya tujuan politik yang memiliki pengaruh sangat kuat sehingga prinsip pemilu yang dijamin oleh konstitusi menjadi tidak sepenuhnya dapat diwujudkan.

“Menimbang dalil Pemohon tersebut semestinya dapat dinyatakan beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh karena diyakini telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi pada beberapa daerah. Maka untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah,” ucap Enny. (SC03)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *