Sumutcyber.com, Jakarta – Terlapor XXIII dari PT Multimas Nabati Asahan menghadirkan Direktorat Industri Hasil Hutan dan Perkebunan pada Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebagai saksi dalam persidangan kasus minyak goreng di KPPU.
Saksi tersebut terlibat di berbagai Tim Lintas Kementerian di antaranya Tim Pembinaan Industri Turunan Minyak Sawit, Tim Pembinaan Sektor Industri Hasil Perkebunan Non Pangan, Tim Lintas Kementerian Pembinaan Komoditas Kelapa Sawit serta Tim Penyusun Harga Preferensi Crude Palm Oil (CPO).
Atas kapasitas tersebut, terlapor XXIII bermaksud menggali mengenai gambaran industri kelapa sawit serta regulasi yang menjadi domain Kementerian Perindustrian.
Dalam keterangan saksi tersebut, dipaparkan data terkait industri sawit di Indonesia di mana terdapat 104 (seratus empat) perusahaan minyak goreng yang mempunyai izin.
Berdasarkan data yang diperoleh dari aplikasi Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (SIMIRAH) 1, pada tahun 2021 terdapat 75 (tujuh puluh lima) perusahaan migor yang terverifikasi. Kemudian pada SIMIRAH 2, bertambah 4 (empat) menjadi 79 (tujuh puluh sembilan) perusahaan migor. Penambahan “pemain” tersebut merupakan dampak dari adanya konsistensi kebijakan pemerintah terkait industri kelapa sawit yang dianggap menarik bagi para pelaku industri migor sehingga jumlahnya bertambah.
Kapasitas produksi CPO pada program SIMIRAH 1 (tercatat sampai dengan 31 Mei 2022) adalah sebesar 43,25 juta ton per tahun kapasitas terpasang. Pada SIMIRAH 2 (Juni 2022), ada perusahaan baru yang mendaftar, dan berdasarkan verifikasi memiliki kapasitas terpasang sebesar 44,88 juta ton/tahun.
Saksi turut menjelaskan bahwa permasalahan utama dalam penyediaan minyak goreng dalam negeri adalah timpangnya persebaran lokasi pabrik dengan konsentrasi konsumen, sehingga diperlukan adanya upaya desentralisasi produksi.
Kemenperin dilibatkan langsung oleh Kementerian Perdagangan dalam penyusunan peraturan untuk penyediaan migor dalam negeri khususnya pada penyusunan kebijakan terkait Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 8/2022.
Dijelaskan bahwa pasca kebijakan tersebut, banyak produsen industri non migor gulung tikar akibat kesulitan mendapatkan CPO untuk proses produksi. Atas kondisi tersebut, pemerintah melakukan rapat koordinasi terbatas pada 13 Maret 2022. Setelah rapat tersebut, penyaluran CPO untuk industri migor dilakukan oleh Kementerian Perindustrian berkolaborasi dengan Satgas Pangan.
Dalam keterangannya, saksi mengamini adanya kaitan antara kenaikan harga CPO di pasar internasional dengan kenaikan harga minyak goreng, mengingat CPO merupakan salah satu international comodity.
Kebutuhan masyarakat global tinggi disebabkan karena beberapa minyak substitusi yang gagal panen. Kenaikan harga tertinggi terjadi pada 2 (dua) periode yaitu di bulan Maret dan April 2022.(SC-Rel/ndo)