Sumutcyber.com, Jakarta – Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham menggelar diskusi melalui Podcast BPHN dengan topik “Polemik Pemilu 2024 : Untung-Rugi Sistem Proporsional Pemilu Terbuka, Tertutup, atau Campuran?” di Jakarta, Jumat (10/2/2023).
Diskusi yang melibatkan beberapa narasumber seperti Fritz Edward Siregar (mantan anggota Bawaslu), Andang Subahariyanto (Rektor Untag Banyuwangi/Sekjen Pertinasia), Titi Anggraini (Perludem) dan Sururudin (Advokat sekaligus Kuasa Hukum Pemohon Pengujian UU Pemilu perkara No.114/PUU-XX/2022) membedah sistem pemilu tertutup yang memberikan penguatan kepada parpol sebagai aktor utama dalam sistem pemilu yang konstitusional demokratis dan sistem pemilu terbuka yang memberikan ruang bagi suara terbanyak.
Dalam diskusi tersebut,.Titi Anggraini dari Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), mengakui memang sistem pemilu yang berlaku sekarang ini secara obyektif perlu dievaluasi. “Demokrasi mensyaratkan well inform voters. Pemilih yang terinformasi baik. Tahu bagaimana mekanisme mencoblos, tahu siapa calegnya, tahu siapa capres cawapres, dan juga tahu konsekuensi dari pilihan yang dibuat. Jadi tantangan kita adalah melahirkan pemilih yang tidak pragmatis. Selain tantangan terbesar kita yaitu melahirkan caleg-caleg yang juga tidak pragmatis,” kata Titi.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh narasumber lainnya. Fritz misalnya mengemukakan, Pemilu 2024 harus dirancang sejak saat ini karena dalam waktu kurang dari 1 tahun ini harus bisa menekan cost sekaligus waktu pelaksanaan nanti di lapangan, jangan sampai kejadian Pemilu 2019 terutama jatuhnya korban yang kelelahan karena Pemilu ini pekerjaan berat bukan hanya 1 hari pelaksanaan selesai.
“Namun mulai dari persiapan hingga pelaksanaan cukup panjang dan dampaknya juga merupakan dampak jangka panjang,” katanya.
Andang Subahariyanto juga memberikan contoh bagaimana warga di Banyuwangi juga pernah ada kasus yang tidak bisa mencalonkan diri pada pemilihan daerah, padahal sudah lama mengabdi di partai namun tidak dipertimbangkan karena dianggap tidak populer untuk memperoleh suara.
“Kita perlu mengevaluasi dan mengkaji kembali sistem proporsional kita, agar masyarakat baik pemilih atau yang maju dalam pemilihan jika memang pantas untuk mencalonkan diri dan telah mendapatkan internalisasi karena telah melalui proses kaderisasi dengan minimal sekian tahun pengabdian bisa maju dalam bursa pemilihan,” ujar Andang.
Kepala BPHN, Widodo Ekatjahjana sebelumnya mengatakan, kedua sistem itu memiliki kelebihan dan kelemahan. Itu sebabnya, diperlukan jalan tengah yang mengombinasikan kelebihan masing-masing, sehingga Parpol sebagai aktor utama pemilu yang konstitusional demokratis memiliki kewenangan untuk menugaskan kader terbaiknya di lembaga perwakilan, sedangkan suara terbanyak tetap mendapat ruang untuk diakomodir.
Widodo menambahkan, dengan sistem kombinasi tersebut akan dapat dijaga/ dilindungi melalui kebijakan afirmasi parpol antara lain keterwakilan calon perempuan, calon yang memiliki popularitas dan telah bekerja mendulang suara untuk partainya serta calon dan kader terbaik partai yang tidak memiliki popularitas tetapi memiliki prestasi dan kinerja terbaik untuk partai.
“Di sisi lain, konflik dan ‘perkelahian” antar calon di dalam tubuh satu partai di MK akan dapat ditekan dan dikendalikan. Ini berarti jumlah perkara PHPU seperti pada pemilu sebelumnya akan sangat jauh berkurang dan dapat dikendalikan,” pungkas Widodo. (SC03)