Sidang Dugaan TPPO Panti Rehab di Langkat, JPU Bacakan Dua BAP Saksi

Sumutcyber.com, Langkat – Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, kembali menggelar sidang dugaan Tindak Pindana Perdagangan Orang (TPPO) nomor perkara 469/Pid.B/2022/PN.Stb atas terdawa berinisial TS, JS, RG dan SP, di ruang sidang Prof Dr Kusumah Admadja Pengadilan Negeri Stabat, Rabu (21/9/2022).

Dimana dalam persidangan dugaan TPPO tersebut, saksi bernama Ali Imran Lubis dan Ninik Rahayu berhalangan hadir di persidangan. Jaksa penuntut umum (JPU) Baron Sidik Saragih dan Jimmy Carter A saat itu membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) dari kedua saksi tersebut.

Pada intinya, keterangan saksi Ali Imran Lubis menyatakan, informasi tentang panti rehab milik Terbit Rencana Perangingangin (TRP) dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) itu, diketahuidari pemberitaan.

“Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial No 3 Tahun 2012 menyebutkan, rehabilitasi sosial adalah proses refungsiolisasi dan pengembangan, untuk memungkinkan seseorang mampu melakukan fungsi sosialnya secara wajar, dalam kehidupan masyarakat,” tutur Jimmy membacakan BAP Imran.

Bacaan Lainnya

Kemudian, lembaga panti rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkotika, adalah lembaga yang didirikan oleh pemerintah. Baik itu pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau masyarakat.

Lembaga rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika yang dibentuk oleh masyarakat, harus berbadan hukum. Kemudian, pemerintah provinsi atau kabupaten/kota merupakan unit pelaksana teknis, yang menyelengarakan rehebalitasi sosial tersebut.

Selanjutnya, rehabilitasi sosial tersebut wajib mendaftar kepada kementrian atau instansi yang menyelenggarakan urusan di bidang sosial, sesuai dengan wilayah kewenangannya.

Persyaratan bagi penyelenggara panti rehabilitasi sosial yang dibentuk oleh masyarakat, harus memiliki ADART dan akte notaris pendirian yang disahkan Kemenkumham sebagai badan hukum. Serta memiliki nomor pokok wajib pajak dan keterangan domisili dari lurah atau kepala desa setempat.

“Selain persyaratan itu, panti rehabilitasi sosial yang dibentuk masyarakat, harus memiliki program kerja di bidang pelayanan rehabilitasi sosial, modal kerja, sumber daya manusia, kelengkapan sarana dan prasarana dan laporan keuangan,” lanjut Jimmy.

Selain itu, setiap lembaga rehabilitasi sosial wajib membuat laporan tertulis pelaksanaan kegiatan setiap akhir tahun. Hal itu mengenai penyelenggaraan kegiatan keuangan sumber daya manusia, aset, serta sarana dan prasarana, kepada instasi sosial setempat.

Berdasarkan data di Dinas Sosisal Provinsi Sumatera Utara, bahwa bangunan di belakang TRP tersebut tidak pernah dilaporkan oleh Dinas Sosial Kabupaten setempat. Apbila pemilik bangunan telah mendaftarkannya dan memiliki izin operasional, maka dinas sosial kabupaten akan melaporkannya ke dinas sosisal provinsi.

“Dari keterangan saksi ahli, bangunan tersebut tidak layak untuk mendapatkan izin dari dinas sosial untuk dijadikan lembaga rehabilitasi sosial, sesuai peraturan perundang – undangan,” tandas Jimmy.

Selanjutnya, JPU Baron Sidik membacakan BAP dari saksi Ninik Rahayu. Pada pokoknya memberikan keterangan terhadap peristiwa tersebut. Ninik menjelaskan, perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan dan pengiriman atau pemindahan seseorang dengan ancaman kekerasan.

“Namun pada faktanya, pusat rehabilitasi hanyalah kedok, tidak memenuhi syarat sebagai pusat rehabilitasi. Justru menjadi tempat terjadinya kekerasan dan eksploitasi,” tutur Baron membacakan BAP Ninik.

Selain itu, terdapat tindakan penjemputan paksa kemudian dimasukkan ke dalam mobil dan dibawa ke kerangkeng. Adanya penampungan atau penyekapan di kerangkeng alias kereng. Terdapat juga pengiriman anak kereng ke perkebunan kelapa sawit milik TRP.

Hak – hak warga binaan yang seharusnya direhabilitasi juga tidak terpenuhi. Bahkan terjadinya pebuatan yang merendahkan martabat kemanusiaan dan kekerasan. Masyarakat yang menjadi korban adalah yang dicap keluarga sebagai penyandang masalah sosial.

“Serangkaian perbuatan yang dilakukan para tersangka dapat dikulifikasikan sebagai tindakan eksploitasi yang mengarah kepada perbudakan. Yang namanya disebut dalam BAP dapat ditetapkan sebagai tersangka. Yaitu TRP, SP, TS, JS, RG, serta nama lain termasuk oknum polisi dan TNI,” terang Baron.

Setelah JPU membacakan BAP saksi ahli, ketua majelis hakim Halida Rahardini SH MHum memutuskan untuk melanjutkan persidangan itu Selasa (27/9/2022) mendatang.

Sementara itu, Poltak Agustinus Sinaga, penasehat hukum para terdakwa mengatakan, sangat menyayangkan ketidakhadiran kedua saksi ahli. Dia menilai, baik pihaknya selaku penasehat hukum, JPU, dan hakim tidak bisa menggali informasi tentang perkara TPPO ini.

“Di kesaksian itu dibacakan soal BAP saksi ahli di kepolisian. Hal itu justru sedikit tendensius, karena kita tidak bisa menggali informasi,” ujar Poltak.

Setelah mendengar BAP saksi ahli yang dibacakan oleh JPU, kata Poltak, ada beberapa hal yang janggal dan berbeda dengan pemeriksaan saksi-saksi sebelumnya. Dinas Sosial menyatakan, jika lokasi kerangkeng tidak layak untuk menjadi tempat rehabilitas atau tempat pembinaan.

Dinas sosial tidak melakukan monitoring

Namun langkah yang diambil oleh Dinas Sosial setempat, tidak ada melakukan monitoring bahkan menyampaikan ke Dinas Sosial Provinsi Sumut terkait hal itu. Padahal Dinas Sosial kabupaten sebelumnya sudah datang.

Jika perkara kasus TPPO kerangkeng manusia milik Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin-Angin ingin terang benerang, Poltak menegaskan, harusnya ketika para saksi diminta menjadi saksi ahli, harusnya siap untuk hadir di pengadilan.

“Bukannya kita sama-sama untuk mencari kebenaran materil. Sehingga jelas kejadian tersebut ada atau tidak. Tadi disampaikan, ahli taunya dari media soal kasus kerangkeng ini. Sangat disayangkan sebetulnya ahli tidak hadir dalam persidangan ini,” tandas Poltak. (SC-TPA)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *