Pencabutan Mandatory Spending dari UU Kesehatan Tidak Pengaruhi Layanan Terhadap Peserta BPJS Kesehatan

Logo BPJS Kesehatan

Sumutcyber.com, Jakarta – Belakang ini, pencabutan Mandatory Spending dari Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan menjadi perbincangan di media sosial. Beredar kabar pencabutan ini disebut-sebut menghapus pembiayaan BPJS Kesehatan.

Menanggapi hal ini, Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. M Syahril menegaskan, pencabutan Mandatory Spending tidak ada kaitannya dengan skema pembiayaan BPJS Kesehatan dan pelayanan kesehatan yang diterima oleh peserta JKN.

Mandatory spending dimaksudkan untuk APBN dan APBD yang harus disediakan oleh pemerintah untuk anggaran kesehatan. Dengan dihapuskannya mandatory spending bukan berarti anggaran itu tidak ada, namun anggaran tersusun dengan rapi berdasarkan perencanaan yang jelas yang tertuang dalam rencana induk kesehatan.

Anggaran akan lebih efektif dan efisiesn karena berbasis kinerja berdasarkan input, output, dan outcome yang akan kita capai, karena tujuannya jelas meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia setinggi-tingginya. Jadi semua tepat sasaran, tidak buang-buang anggaran.

Bacaan Lainnya

“Kalau mandatory spending itu terkait dengan belanja yang wajib untuk membiayai program-program kesehatan seperti pencapaian target stunting, menurunkan AKI, AKB, mengeliminasi kusta, eliminasi TBC, dan juga penyiapan sarana prasarana,” ujar dr. M Syahril, dilansir dari laman kemkes.go.id, Rabu (9/8/2023).

“Sementara terkait upaya pendanaan kesehatan perseorangan dalam program jaminan kesehatan yang dikelola BPJS tidak terkait dengan mandatory spending dalam UU kesehatan tidak ada perubahan pengaturan terkait BPJS Kesehatan. Sehingga informasi tersebut tidak benar dan menyesatkan,” lanjutnya.

Berbeda dengan skema pembiayaan dalam BPJS Kesehatan yang menggunakan sistem asuransi sosial dimana uang yang dikelola merupakan iuran dari para peserta BPJS Kesehatan.

Bagi yang mampu akan membayar iurannya sendiri, bagi pekerja penerima upah (pekerja formal) maka iuran JKN dibayar secara gotong royong antara pekerja (mengiur 1 persen) dan pemberi kerja (mengiur 4 persen). Sementara masyarakat yang tidak mampu akan dibayarkan pemerintah melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Dia memastikan, tidak adanya mandatory spending tidak akan berpengaruh terhadap aspek layanan kesehatan yang diterima oleh peserta BPJS Kesehatan seperti yang selama ini sudah berjalan. (SC03)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *