Mengenang 25 Tahun Tenggelamnya KMP Gurita

25 TAHUN berlalu. Tepatnya, 19 Januari 1996 kapal Feri KMP Gurita yang membawa 378 orang dari Pelabuhan Malahayati Aceh Besar ke Pelabuhan Balohan Sabang tenggelam.

Kabar yang tadinya gembira karena segera berkumpul dengan sanak saudara, seketika berubah menjadi jeritan, tangisan. Sebab, orang yang ditunggu kehadirannya jelang puasa Ramadhan tak kunjung datang, baik itu jenazahnya, karena banyak yang tak ditemukan alias hilang di Perairan Teluk Balohan, Sabang.

Meski sudah seperempat abad berlalu, namun peristiwa naas tersebut masih teringat jelas dibenak para keluarga korban maupun korban yang selamat. Pengguna media sosial Facebook, juga banyak mengenang peristiwa tersebut, Selasa (19/1/2021) ini.

Selamat Jalan Nenek Ngatiah dan Bunda Sari (Tragedi tenggelamnya KMP Gurita Tgl 19 Jan 1996) 25 tahun lalu. Semoga nenek dan bunda diberikan rahmat di alam kubur dan alam akhirat kelak. Aamiin,” tulis akun Facebook bernama Tarmizi.

Bahkan ada yang membagikan pengalaman temannya saat terombang-ambing di laut selama 9 jam hingga akhirnya selamat.

Berikut status pengguna Facebook Ani Daoed yang membagikan pengalaman temannya Deddy Khairulsyah.

MENGENANG TRAGEDI TENGGELAMNYA KMP. GURITA, 19 JANUARI 1996.😭😭😭

Sudah sekian lama tidak pernah ketemu dan beberapa hari yg lalu kami reuni bersama sohib2 Punge Blang Cut. DADDY sahabat kecil dan tetanggaku menceritakan bahwa beliau salah satu korban yg selamat dari tenggelamnya KAPAL GURITA. Sayapun baru tau kalau Deddy selamat dari tragedi Gurita.

Berikut Deddy menceritakan pengalamannya saat tragedi itu….😥😥😥

Hari ini tepat 25 th tragedi tenggelam nya Kpl Gurita penyeberangan Kr. Raya Banda Aceh menuju Balohan Sabang. Tanggal 19 Januari 1996 dimana saya berangkat menuju Sabang  sore hari dan gelombang besar serta badai menenggelam kan Kpl jam 21.00mlm.

Saya masih berada di propeler (baling baling Kpl) sebelum Kpl benar benar tenggelam sy melompat kelaut tanpa bantuan apapun. Setelah sebentar berenang sy bergabung dgn 4 org lainnya berpegangan sekarung goni sendal dan sepatu anak 2 yg merupakan bawaan penumpang. Di tengah ombak besar satu persatu dari 5 org yg memegang goni tersebut lemas dan tenggelam dan terakhir hanya sy yg tinggal sendiri.

Sepanjang malam sy terus berdoa dan meminta pertolongan kpd Allah supaya sy di beri kekuatan dan selamat dr musibah ini. Akhirnya setelah 9 jam terombang ambing di laut Alhamdulillah sy berhasil berenang ketepian laut pulau Sabang yaitu tepat nya di Gua Sarang yakni jam 06. 00 langsung sy sholat Shubuh  dgn pakaian seadanya yakni cuma maaf celana dalam dan baju dalam saja. Dan setelah setengah jam kemudian baru datang pertolongan boat. Terima kasih ya Allah telah engkau beri berikan kelebihan umur ku hingga kini sdh 58 tahun.

Kami sama2 korban dari:
Daddy, selamat dari tragedi Gurita
Ani Daoed, selamat dari Gelombang Tsunami

Semoga kami yg masih diberi kesempatan tuk hidup semakin mendekatkan diri pd Allah swt.
Alfatihah tuk Saudara2 kami semua yg ikut sebagai korban tenggelamnya kapal gurita.🤲🤲,” tulis Ani Daoed.

Kronologis

Dikutip dari Wikipedia, Kapal ini berangkat dari Pelabuhan Malahayati, Aceh Besar, pukul 18.45 WIB menuju kota Sabang 19 Januari 1996. Menurut rencana, kapal tersebut seharusnya tiba di Pelabuhan Balohan pukul 21.00 WIB.

Kapal ini menurut penuturan saksi mata yang menyaksikan keberangkatan kapal, melihat kapal memang kelebihan sekaligus sarat muatan, karena kapal yang memiliki kapasitas 210 orang, ternyata disesaki hingga mencapai 378 orang (282 orang warga Sabang, 200-an warga luar Sabang, serta 16 Warga Negara Asing), itupun diperparah dengan muatan barang yang mencapai 50 ton, meliputi 10 ton semen, 8 ton bahan bakar, 15 ton tiang beton listrik, bahan sandang-pangan kebutuhan masyarakat Sabang serta 12 kendaraan roda empat dan 16 roda dua.

Kejadian itu terjadi tiga hari sebelum pelaksanaan ibadah puasa, yaitu 22 Januari 1996. Jum’at sore itu ramai sekali penumpang yang hendak berangkat ke Sabang dengan Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Gurita yang bersandar di Dermaga Pelabuhan Malahayati, Aceh Besar.

Tidak ada yang aneh ketika sejumlah penumpang bergerak memasuki kapal yang tergolong tua tersebut. Hanya muatan yang penuh sesak dan seakan ini sudah menjadi kelaziman. Jadwal pelayaran pada Jumat sore, 19 Januari 1996 itu bertambah padat karena menyambut masuknya bulan suci Ramadhan yang jatuh pada 22 Januari 1996.

Dalam tradisi masyarakat Aceh, satu atau dua hari menjelang Ramadhan adalah meugang, di mana pada saat-saat itulah semua anggota keluarga sedapat mungkin bisa berkumpul. Saksi mata yang tak jadi berangkat dengan KMP Gurita karena melihat kondisi kapal yang sarat penumpang mengakui, pada saat meninggalkan Pelabuhan Malahayati, kapal yang naas tersebut sarat penumpang dan barang.

“Saya takut melihat kapal tersebut, jadi saya turun dan membatalkan untuk berangkat,” ujar Daud, penduduk Sabang yang membatalkan niatnya menumpang KM Gurita pada malam itu.

Sebagai seorang pedagang yang terbiasa menumpang KM Gurita, Daud mengakui, pada malam keberangkatan dari pelabuhan Malahayati, rasa takutnya tidak dapat ditolak. Ia gelisah. Ada bisikan hati yang melarang Daud berangkat malam itu. “Bisikan itu yang membuat saya selamat,” katanya.

Kisah lainya juga bernada sama, di ungkapkan oleh Buchari (27), pemuda yang dikenal sebagai guru komputer di Sabang. Dia menceritakan, pada malam itu ia tak jadi pulang ke Sabang, karena ada “sesuatu” yang melarang. Padahal, nama Buchari sudah tercantum sebagai penumpang nomor satu pada manifest. “Saya selamat, karena mengurungkan niat pulang malam itu,” ujar Buchari.

Mencekam

Di kegelapan malam yang mencekam itu, KM Gurita mengalami gangguan cuaca dan angin kencang dari arah timur. Terjadinya gangguan, ditambah muatan yang melebihi kapasitas, mengakibatkan kapal tersebut menjadi oleng.

Nakhoda tak dapat menguasai kapal yang oleng ke kiri dan ke kanan. Saksi mata mengatakan pada pukul 20:15 WIB, kapal penyeberangan itu masih terlihat dari pelabuhan Balohan. Sanak keluarga yang datang menjemput tak memperkirakan kapal tersebut sedang mengalami gangguan dan tengah berjuang melawan badai. Lampu masih terlihat jelas dari KM Gurita.

Namun sekitar pukul 20:30 WIB, kapal penyeberangan itu sudah tidak terlihat lagi. Sampai saat itu, belum ada satu pun pejabat di pelabuhan Sabang yang menyatakan kapal mengalami musibah. Pencarian terus dilakukan. hubungan dengan kapal terputus. Tak ada tanda-tanda apa pun yang bisa diterima dari kapal feri itu.

Kepastian musibah baru diketahui empat jam setelah kejadian, yakni pada saat salah seorang penduduk Pasiran, Kota Bawah Timur, Syahril (22 tahun) penumpang KM Gurita mampu berenang mengarungi lautan dengan ombak yang ganas dan terdampar di Teluk Keuneukai. Kabar yang di bawa Syahril itulah yang memastikan bahwa KM Gurita tenggelam di dekat teluk Balohan. sejak saat itu, masyarakat di Pelabuhan Sabang, menjadi gelisah. Sebagian masih tetap tabah menanti kedatangan keluarganya, tetapi sebagian lagi mulai mencari daftar penumpang.

Dari penuturan Syahril yang mengatakan kapal tenggelam itulah, disimpulkan bahwa hasil penyelidikan final Tim Pencari Fakta yang bekerja selama sebulan menyatakan, jumlah penumpang yang ada di KM Gurita ternyata 378 orang.

Jumlah orang itu diperoleh setelah seluruh data masuk dari masing-masing daerah. Dari jumlah itu, terbanyak berasal dari Sabang, mencapai 282 orang dan 16 warga negara asing (WNA). Sebenarnya, sejak beberapa tahun lalu masyarakat di Aceh, khususnya di pulau Sabang, sudah memperkirakan bakal terjadi musibah atas KM Gurita.

Perkiraan itu setelah melihat kondisi feri penyeberangan tersebut yang sering batuk-batuk dan tak layak untuk berlayar lagi. Namun, karena terbatasnya armada angkutan, Ditjen Perhubungan Darat dalam hal ini PT ASDP (Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan) terus mengoperasikan secara reguler kapal tua yang dibuat tahun 1970 di galangan kapal Bina Simpaku, Tokyo, Jepang tersebut.

Penetapan Tersangka

Musibah yang menimpa KM Gurita tak terlepas dari kealpaan sejumlah pejabat perhubungan di Aceh. Dari hasil penyelidikan yang dilakukan Polda Aceh, ada enam pejabat di lingkungan Kantor Wilayah (Kanwil) Perhubungan Aceh yang dinyatakan resmi sebagai tersangka kasus tenggelamnya KMP Gurita. Berkas perkara keenam tersangka itu telah dilimpahkan Polda Aceh Kejaksaan Tinggi dan terakhir, Kejati juga telah menyerahkan berkas perkaranya ke pengadilan negeri di Banda Aceh.

“Kita sudah proses semua tersangka, tampaknya mereka dapat dikenakan pasal-pasal yang memberatkan,” ujar Kapolda. Keenam pejabat yang dinyatakan sebagai tersangka tenggelamnya KMP Gurita itu adalah, AK (Kepala Cabang PT ASDP Banda Aceh), Drs. Yus (Syahbandar), IH (Kepala Bagian Operasi PT ASDP Banda Aceh) dan tiga pejabat di Bagian Administrator Pelabuhan (Adpel) Malahayati yakni AS,KD dan BMA.

Menurut Kapolda waktu itu, walau mereka sudah dinyatakan sebagai tersangka, tetapi belum dilakukan penahanan. karena diyakini, keenam tersangka tidak akan melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti dan tidak pula mengulangi perbuatannya, atas dasar itulah mereka tidak ditahan,” ujar Kapolda.

Keenam tersangka itu dipersalahkan melanggar pasal 263, 338, 359 KUHP serta undang-Undang Nomor 21/1992 tentang pelayaran. Pasal 263 KUHP dikenakan kepada para tersangka, karena para tersangka sengaja memalsukan sejumlah dokumen mengenai pelayaran KMP Gurita, sehingga terjadi musibah yang menewaskan ratusan orang itu. pada pasal 359 KUHP disebutkan, karena kelalaian mereka menyebabkan hilangnya nyawa orang lain.

Sedangkan pasal 338 KUHP,karena perbuatan tersangka itu dianggap sebagai pembunuhan, begitu juga Undang-Undang Nomor 21/1992 yang bisa mengancam mereka dengan hukuman lebih dari lima tahun penjara. Semua tuduhan itu mutlak diberlakukan kepada mereka. Dalam penyelidikan kasus yang menarik perhatian masyarakat di tanah air itu, Polda Aceh telah meminta sedikitnya keterangan 60 orang saksi, baik yang ada di Sabang maupun di Banda Aceh dan kabupaten Aceh Besar. (SC03/Berbagai Sumber)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *