Kisruh Lahan Sigara-gara Dibahas di Rapat DPRD Sumut, Ini Rekomendasi Komisi A

Sumutcyber.com, Medan – Komisi A DPRD Sumatera Utara menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan PT Rapy Ray Putratama (RRP), Kirem Ginting dan Dody Thaher, terkait sengketa lahan seluas 15 hektar di Desa Sigara-gara, Kecamatan Patumbak, Deliserdang, Kamis (9/11/2023).

Rapat Dengar Pendapat (RDP) dipimpin Ketua Komisi A DPRD Sumut M Andri Alfisah didampingi anggota Frans Dante Ginting dan Azmi Yuli Sitorus. Hadir pula kuasa hukum PT RRP Sa’I Rangkuti dan kuasa hukum Dody Thaher dari Kantor Hukum Hasrul Benny Harahap dan rekan.

Kirem Ginting adalah pemilik awal lahan seluas 15 hektar di Desa Sigara-gara. Wanita berusia 87 tahun itu datang ke Gedung Dewan didampingi anak, menantu dan kuasa hukumnya Bukit Sitompul.

Pada tahun 2018 lahan tersebut telah dijualnya kepada PT Rapy Ray Putratama dan kini di atasnya telah dibangun perumahan Pondok Alam, yang merupakan rumah subsidi program Presiden Jokowi.

Bacaan Lainnya

Menurut Kuasa Hukum Kirem Ginting, Bukit Sitompul, lahan tersebut awalnya dibeli Kirem Ginting dari Wan Moechtar pada tahun 1985. Namun pada tahun 1995, di atas lahan tersebut berdiri plank yang bertuliskan bahwa tanah tersebut telah menjadi agunan PT BPDSU yang kini menjadi PT Bank Sumut.

“Setelah ditelusuri, lahan tersebut ternyata telah menjadi objek jaminan ke Bank Sumut oleh PT Rhodetas Jaya. Atas dasar itu Ibu Kirem melakukan komunikasi dengan Bank Sumut namun tidak menemukan titik temu yang baik,” sebut Bukit Sitompul.

Kirem Ginting kemudian menggugat Drs.Bahauddin Darus dan PT Rhodetas (keduanya pihak terkait dengan PT Bank Sumut), dan berperkara secara perdata di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.
Saat berpekara menghadapi PT Rhodetas, kuasa hukum Kirem Ginting, Nanggung Pinem memperkenalkan Dody Thaher kepada Kirem Ginting.

Dody berjanji akan membantu mendanai biaya perkara Kirem Ginting dengan PT Rhodetas Jaya. Maka dibuatlah surat perjanjian antara Dody Thaher dengan Kirem Ginting, yang memiliki hak dan kewajiban.

“Apabila ibu Kirem menang, maka yang akan membeli lahan tersebut dengan harga yang telah ditentukan sebesar Rp4 ribu per meter adalah Pak Dody Thaher,” sebutnya.

Perkara itu berjalan sampai upaya hukum luar biasa dengan dilakukannya Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. Akhirnya antara Kirem br Ginting dan Drs.Bahauddin Darus dan PT Rhodetas telah berdamai sebagaimana tertuang dalam Akta Perdamaian No.28 tanggal 8 Agustus 2001 yang dibuat dihadapan Alina Hanum Nasution, SH, notaris di Medan.

Kirem Ginting menyerahkan uang sejumlah Rp400 juta kepada Drs.Bahauddin dan PT Rhodetas, guna membantu penyelesaian hak dan kewajiban Drs.Bahauddin dan PT Rhodetas dengan pihak lain.
Dengan demikian, setelah akhirnya Kirem Ginting berdamai dengan Drs.H.Bahauddin dan PT Rhodetas Jaya, maka status tanah objek perkara dalam register perkara No.71/Pdt.G/1995/PN-LP jo No: 294/PDT/1997/PT-MDN jo Nomor: 831 K/Pdt/1998 kembali ke keadaan semula dan Kirem Ginting adalah satu-satunya pemilik yang sah atas tanah seluas 15 hektar tersebut.

Menurut Kuasa hukum Dody Thaher dari Kantor Hukum Hasrul Benny Harahap dan rekan, legalisasi perjanjian No.232/L/1997 tertanggal 15 Agustus 1997, Kirem Ginting dan Dody Thaher sepakat dan berjanji untuk mengadakan jual beli tanah seharga Rp4.000 per meter atas putusan Bagi Hasil Tanah (BHT) atas perkara hukum antara Kirem Ginting dengan PT.Rhodetas.

Dody Thaher melakukan pembayaran uang muka dengan membiayai segala keperluan perkara tersebut termasuk pengeluaran untuk pengacara/penasehat hukum Kirem br Ginting sebesar Rp17 juta-Rp100juta sampai perkara selesai.

Namun menurut kuasa hukum Kirem Ginting Bukit Sitompul, Dody tidak pernah membayar sepeser pun untuk pembelian tanah tersebut hingga akhirnya pada tahun 2018, Kirem Ginting menjual tanah tersebut kepada PT Rapy Ray Putratama.

Dalam rapat tersebut kuasa hukum Dody Thaher juga menyinggung mengenai sita jaminan di atas lahan Sigara-gara yang diajukan pada tahun 2002, dan menurutnya hingga kini belum pernah dilakukan pengangkatan sita. Hal inilah yang menurutnya masih mengganjal.

“Atas tanah tersebut harus dilakukan jual beli dengan Dody Thaher berdasarkan putusan PK II 756PK/PDT/2021 tertanggal 28 Juni 2021 : Jo Putusan No.84/Pdt/G/2001/PN.LP tanggal 10 Juni 2002,” sebutnya.

Namun menurut Syafrida Ayulita dari BPN Deliserdang, Sita Jamin yang dimaksudkan pihak Dody Thaher itu tidak pernah dititipkan ke BPN Deliserdang. Sehingga menurutnya, sepanjang sita tidak diumumkan atau tidak diletakkan ke BPN Deliserdang, maka sit aitu tidak ada kekuatannya. Itu berarti proses penerbitan sertifikat yang dilakukan PT Rapy Ray dan jual beli yang dilakukan Kirem Ginting sudah ‘clean and clear’.

Rekomendasi Komisi A Dinilai Merugikan 

Sementara itu perwakilan PT RRP, Syahrizal Hasan menilai rekomendasi yang dikeluarkan Komisi A DPRD Sumut tertanggal 27 Juni 2023, adalah merugikan mereka.

Dimana dalam surat tersebut, Komisi A meminta kepada Satgas Anti Mafia Tanah memberikan saran kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Deliserdang agar menganulir dan membatalkan sendiri sertifikat Hak Guna Bangunan No.649 dengan Surat Ukur No.463/Sigara-gara/2019 luas 10.682 m2 dan Sertifikat Hak Guna Bangunan No.650 dengan Surat Ukur Nomor 464/Sigara-gara/2019 Luas 114.414 m2 atas nama PT. Rapy Ray Putratama dan pecahannya sebanyak 937 Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) serta 3 sertifikat Hak Milik.

Menurut Syahrizal, rekomendasi tersebut merugikan PT.RRP.  “Dewan selaku pihak legislative seharusnya tidak mengeluarkan rekomendasi yang berkaitan dengan produk hukum, ini jelas merugikan kami,” kata Syahrizal.

Komisi A Rekomendasikan Berdamai

Setelah mendengarkan keterangan dari pihak yang berkonflik, akhirnya Ketua Komisi A M Andri Alfisah memberikan rekomendasi agar dilakukan perdamaian dan mencari win-win solution. “Semoga setelah pertemuan ini semua pihak berdamai,” sebutnya..

Namun menurut perwakilan PT RRP Syahrizal Hasan, perdamaian itu sudah pernah ditawarkan oleh pihak RRP kepada Dody Thaher. Mereka mengajukan uang damai sebesar Rp5 miliar, dengan catatan Rp3 miliar dibayar cash dan sisanya dibayarkan dengan cara dicicil.
“Namun upaya perdamaian itu ditolak oleh Dody Thaher karena dia menginginkan pembagian 70 persen dari asset perumahan Pondok Alam Sigara-gara,” sebut Syahrizal. (SC03)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *