Sumutcyber.com, Jakarta-Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menegaskan,
saat ini hal yang paling menakutkan dan mengancam bagi seluruh masyarakat dunia bukanlah pandemik ataupun perang, akan tetapi perubahan iklim global.
Menurutnya, peningkatan suhu rata-rata global yang terus menerus ini mengakibatkan percepatan proses siklus hidrologi, yang mengakibatkan berbagai bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor baik di negara maju, di negara berkembang, di negara kepulauan, apapun kondisi negaranya.
Hal ini disampaikannya saat membuka acara Training of Trainers (ToT) Climate Field School (CFS) atau pelatihan bagi pelatih sekolah lapang iklim untuk negara-negara anggota Colombo Plan yang berlangsung di Gedung Auditorium BMKG. Kegiatan ini dihadiri oleh para pejabat dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg).
Kegiatan ini merupakan salah satu program Kerja Sama Teknik Selatan-Selatan dan Triangular (KTSST) antara pemerintah Republik Indonesia, yakni Kementerian Sekretariat Negara dan BMKG dengan Sekretariat Colombo Plan. Training akan berlangsung selama 7 hari ke depan bertempat di Regional Training Center (RTC) BMKG, Citeko – Bogor.
Dwikorita juga menambahkan, berbagai bencana yang terjadi berakibat pada global water hotspot, yang berarti terjadinya krisis air. Krisis air juga memberi dampak yakni tantangan bagi ketahanan pangan. Diperkirakan oleh organisasi meteorologi pada tahun 2050, hampir semua bagian dunia akan mengalami masalah ketahanan pangan.
“Kita perlu melakukan mitigasi terhadap dampak perubahan iklim dan bagi para petani perlu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim,” imbuhnya dilansir dari laman bmkg.go.id, Senin (10/7/2023).
“Oleh karena itu, tujuan dari Climate Field School (CFS) atau sekolah lapang iklim ini adalah memberdayakan para petani atau sektor pertanian untuk dapat lebih beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim sehingga dapat mempertahankan produksi tanaman dan mencegah terjadinya tantangan terhadap ketahanan pangan. Sekolah lapang iklim sebagai wadah kita untuk saling belajar, berbagi pengalaman, berbagi pembelajaran serta berbagi kisah kegagalan sehingga mengurangi risiko dari dampak perubahan iklim, bahkan kita bisa mencegah terjadinya krisis pangan, tutup Dwikorita.
Target peserta pada training ini antara lain para pengambil kebijakan, pengamat dan prakirawan cuaca/iklim, dan penyuluh pertanian di 8 negara anggota Colombo Plan dan Timor Leste. Total 19 peserta yang terdiri dari Bangladesh (3 orang), Bhutan (1 orang), Indonesia (4 orang), Myanmar (2 orang), Nepal (2 orang), Papua New Guinea (1 orang), Sri Lanka (2 orang), Filipina (2 orang), dan Timor Leste (2 orang). (SC03)