Sumutcyber.com, Medan – Yayasan Pusaka Indonesia (YPI) meminta agar pemerintah serius dalam menurunkan angka stunting di Indonesia. Sebagaimana saat ini pemerintah gencar gencarnya kampanye untuk menurunkan angka stunting.
Seperti diketahui, prevalensi pada Baduta (bayi di bawah dua tahun) stunting di Indonesia dari 2013 hingga ke 2018 mengalami penurunan, yakni dari 32,8% menjadi 29,9%, namun angka tersebut masih jauh lebih tinggi dari batas toleransi WHO yaitu 20%.
Di Provinsi Sumatera utara, prevalensi stunting pada anak juga terhitung tinggi yakni sebanyak 25% masih di atas angka secara nasional. bahkan ada 12 Kabupaten kota angka sunting di atas 38 persen. Yang paling tinggi terdapat di Mandailing natal yakni 47,7 persen.
Kordinator Divisi Advokasi YPI Elisabeth SH merasa khawatir, jika penurunan angka stunting tidak tercapai maka bonus demografi pada tahun 2030 di Indonesia tidak bisa dimanfaatkan karena kesehatan anak dan pemuda buruk akibat angka stunting yang tidak mampu dikendalikan.
Belanja Rokok abaikan Gizi Anak
Di sisi lain, kondisi inflasi yang gila-gilaan saat ini di sejumlah negara termasuk Indonesia, dikhawatirkan akan memperburuk konsumsi gizi bagi anak, termasuk ibu hamil.
Dari pantauan YPI di pasar, terjadi kenaikan bahan pokok yang cukup signifikan akhir-akhir ini. Baik beras, minyak makan, hingga lauk pauk. Kenaikan dipastikan akan terjadi jika pemerintah akan menaikan harga BBM.
Tidak bisa dipungkiri, kondisi ini akan mempengaruhi konsumsi gizi bagi masyarakat khususnya yang ekonomi lemah.
“Perhari saja untuk biaya hidup keluarga dengan anak 3, minimal Rp50.000, apa mungkin bisa memenuhi gizi anak jika uang tersebut harus dibagi lagi dengan konsumsi rokok orang tuanya, ini sangat beresiko jika tidak segera dikendalikan,” ujar Elisabet prihatin.
Menarik sekaligus memprihatinkan, menurut Elisabet, ketika kebutuhan pokok naik, namun orang tua, khususnya kaum bapak, tidak mampu mengurangi konsumsi rokok. Data BPS juga menempatkan bahwa belanja rokok dan produk tembakau terbesar setelah belanja beras. Akibatnya orang tua cendrung mengabaìkan dan mengurangi gizi pada anak. Ini berbahaya dan sudah bukan rahasia umum. Kebanyakan bagi perokok, lebih rela mengurangi belanja makan dari pada belanja rokok. Ini sangat miris
“Asupan gizi tidak terpenuhi, ditambah lagi anak terpapar oleh asap rokok. Paparan yang diterima anak dari berbagai tempat, di rumah, di lingkungan dan di sarana umum,”
Konsumsi rokok menurut Elisabet merupakan penyebab stunting, baik secara langsung melalui paparan asap rokok pada anak sejak masa kandungan, maupun secara tidak langsung dimana belanja rokok mengurangi biaya makanan bergizi.
Untuk itu, YPI meminta agar pemerintah bisa ikut andil melakukan tindakan nyata, tegakan regulasi. Setidaknya regulasi yang ada akan membatasi prilaku merokok masyarakat khususnya di tempat umum.
Elisabet juga meminta, ada sanksi yang diberikan kepada masyarakat, menunda pemberian bantuan jika ternyata ditemukan kepala keluarga yang masih merokok. Karena besar kemungkinan bantuan pemerintah akan digunakan untuk membeli rokok yang paparan asapnya justru merusak tumbuh kembang anak.
Untuk itu, YPI meminta pemerintah segera bertindak, jika serius menurunkan angka stunting BKKBN pada tingkat provinsi hingga Tim Pendamping Keluarga (TPK)
memiliki andil penting dalam meneruskan kampanye edukasi ini kepada masyarakat
dalam mendukung program percepatan penurunan stunting dengan ikut mengendalikan perokok. (Rel/SC03)