Sumutcyber.com, Medan – Mantan aktivis 98 yang kini menjabat Anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Dr Pius Lustrilanang SIP, MSi menjadi keynote speaker di acara bedah buku “Aldera, Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999” di Gedung Auditorium Universitas Negeri Medan (Unimed), Jalan Willem Iskandar Medan Estate, Kamis (2/3/2023).
Bedah buku yang dihadiri ratusan mahasiswa Unimed itu, dibuka Rektor Unimed Prof Dr Syamsul Gultom SKM M Kes. Hadir di acara itu, Wakil Gubernur Sumut Drs Musa Rajekshah MHum, para wakil rektor, dekan dan dosen di lingkan Unimed.
Bedah buku Aldera menampilkan tiga narasumber, yakni Dosen Fakultas Ilmu Sosial Unimed yang juga pegiat HAM Majda El Muhtaj MHum, mantan aktivis 98 yang juga dosen FE Unimed Nelly Armayanti SP, MSP dan praktisi media yang juga Tenaga Ahli BPK RI Dr Roy Pakpahan SH, MSi. Bedah buku dipandu Dr Tappil Rambe MSi, dan Rika Riskayanti.
Pius mengatakan, buku Aldera ini merupakan peristiwa sejarah prareformasi di Indonesia. Salah satu organisasi mahasiswa yang ikut menggaungkan reformasi dan aktif melakukan aksi adalah Aldera. Pius berharap buku yang digagasnya ini dapat menjaga semangat kaum muda saat ini untuk tetap berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara Indonesia
“Aldera adalah singkatan Aliansi Demokrasi Rakyat yang telah berjuang jauh hari sebelum reformasi tersebut terjadi, yakni sejak awal 1990-an. Keberanian Aldera saat itu adalah hal yang jarang ada di era Orde Baru yang otoritarianisme. Aldera memilih berada di jalur gerakan politik kerakyatan. Ketika gerakan mahasiswa memuncak di 1998 dan memaksa Soeharto turun dari kekuasaan, isu terpenting adalah anti KKN. Anti-KKN adalah salah satu representasi kegelisahan dalam semangat zaman,” kata mantan Anggota DPR RI ini.
Seiring berkembangnya reformasi dan tantangan-tantangan baru yang dihadapi Bangsa Indonesia, sambung Pius, peran mahasiswa masih saat ini untuk membentuk kesejahteraan rakyat. Dampak pandemi covid-19 dan ancaman resesi dunia saat ini, adalah tantangan yang harus dihadapi mahasiswa.
Rektor Unimed Prof Syamsul Gultom mengatakan, membaca buku “Aldera, Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999”, laksana membaca kitab gerakan demokrasi di Indonesia. Isi buku ini menjadi bacaan untuk memaknai kilas balik satu estafet gerakan perlawanan terhadap rezim otoritarianisme Orde Baru pada awal 1990-an hingga jatuhnya Presiden Soeharto.
“Saya membaca buku ini di bagian pertama ‘Pius Menolak Bungkam’ darah saya merasa bergetar, jiwa nasionalis saya ikut meronta. Begitu besar perjuangan para generasi muda, gerakan mahasiswa Indonesia. Adanya penculikan, dan penyiksaan para aktivis, bahkan ada 13 orang korban yang sampai sekarang dinyatakan hilang. Meskipun para aktivis gerakan perubahan mengalami traumatik selama berbulan-bulan di tahanan tersembunyi, mereka tetap optimis bahwa angin perubahan sedang bertiup di bumi Indonesia,” kata Syamsul.
Sementara itu, dalam paparannya Majda Elmuhtaj mengatakan, saat ini mahasiswa memiliki tantangan tersendiri. Apapun zaman dan situasinya, mahasiswa, kata Majda harus menjaga semangatnya sebagai agen perubahan.
“Tentu kata reformasi itu, situasinya tidak sama dengan sekarang. Mahasiswa saat ini punya tantangan tersendiri. Tetapi meski begitu, semangat mahasiswa sejak dulu, harus selalu sama yakni membuat Indonesia lebih baik,” tegas pegiat HAM ini.
Narasumber lainnya, Roy Pakpahan mengatakan, mahasiswa harus kritis. Sikap kritis itu, kata Roy, bisa didapat dari membaca dan mengamati. Tidak cukup sampai di situ, mahasiswa juga harus terbiasa menulis, setidaknya di pers kampus.
“Pers kampus itu merupakan keharusan. Semakin banyak pers yang ada di kampus, maka wadah mahasiswa untuk menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan semakin banyak pula,” kata Pemimpin Redaksi Law-Justice.co ini.
Sedangkan Nelly Armayanti mengatakan, jika mahasiswa 98 harus berdarah-darah turun ke jalan, namun mahasiswa generasi Z saat ini diuntungkan oleh kecanggihan teknologi. Sekarang dengan kecanggihan teknologi, mahasiswa bersama kaum terdidik lainnya bisa menggunakan media sosial untuk menyuarakan demokratisasi.
“Kasus Brigadir Polisi Joshua Hutabarat adalah salah satu contoh, bagaimana suara masyarakat menyebar begitu cepat melalui teknologi digital agar kasusnya diungkap secara transparan. Kalau di zaman kami mahasiswa 98, untuk membicarakan sesuatu harus bergerak melalui media bawah tanah, karena tak ada teknologi yang dapat menghubungkan para aktivis. Hari ini dengan gampang para aktivis bisa kontak-kontakan melalui media sosial kapan misalnya dilakukan rapat atau pertemuan,” kata mantan Ketua KPU Medan yang kini menekuni karir sebagai dosen Fakultas Ekonomi Unimed.
Dalam bedah buku itu, Pius juga mengajukan beberapa kuis kepada mahasiswa terutama tentang isi buku Aldera. Mahasiswa pun berebut untuk menjawab kuis yang diajukan Pius, apalagi bagi mahasiswa yang menjawab dengan tepat diberi hadiah handphone android. (SC08)