Baru 360 Dokter Spesialis Paru untuk 514 Kabupaten/Kota, Pemerintah Percepat Program Fellowship TBC

Ilustrasi dibuat oleh ChatGPT

Jakarta – Indonesia menghadapi ketimpangan serius dalam distribusi tenaga medis spesialis paru. Saat ini, jumlah dokter spesialis paru secara nasional baru mencapai sekitar 360 orang. Angka ini jauh dari memadai untuk melayani 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Kondisi ini memicu keprihatinan pemerintah dan mendorong Kementerian Kesehatan RI memperkuat program fellowship tuberkulosis (TBC) dan infeksi mikobakterium lainnya. Program ini diharapkan dapat mempercepat pemerataan tenaga ahli, khususnya dalam penanganan TBC yang masih menjadi masalah kesehatan utama di tingkat nasional maupun global.

Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof. Dante Saksono Harbuwono, menegaskan bahwa penanganan TBC merupakan mandat prioritas dari Presiden Prabowo Subianto kepada Kementerian Kesehatan.

“Kita berupaya menurunkan angka tuberkulosis ini hingga 50 persen,” ujar Prof. Dante dilansir dari laman kemkes.go.id, Kamis (12/6/2025).

Bacaan Lainnya
banner 1000x100

Ia menekankan, TBC bukan hanya persoalan medis, tetapi juga berdampak besar terhadap ekonomi nasional karena menyasar kelompok usia produktif. Oleh karena itu, penanggulangan TBC telah ditetapkan sebagai prioritas nasional lintas sektor, melibatkan dunia pendidikan, layanan kesehatan, hingga partisipasi masyarakat dan organisasi non-pemerintah.

Salah satu langkah strategis yang kini dijalankan pemerintah adalah peningkatan jumlah dan kapasitas dokter melalui program fellowship.

“Program fellowship ini menjadi program penting, terutama bagi masyarakat di daerah, untuk menangani TBC secara paripurna,” ujarnya.

Saat ini, program fellowship telah berjalan di tiga pusat pendidikan, yakni di Jakarta, Surabaya, dan Medan. Setiap semester, jumlah lulusan berkisar 10 hingga 11 dokter. Namun dengan kebutuhan yang besar dan jumlah spesialis paru yang masih minim, program ini dinilai harus terus diperkuat.

“Kalau tidak dipercepat melalui fellowship ini, kita tidak bisa mengharapkan seluruh kabupaten/kota di Indonesia memiliki dokter spesialis paru,” tambahnya.

Direktur Utama RS Persahabatan, Prof. dr. Agus Dwi Susanto, menyambut baik inisiatif tersebut. Ia menyebutkan bahwa RS Persahabatan telah memiliki laboratorium mikrobiologi yang terstandar serta poliklinik terpadu untuk TBC dan non-TBC dalam satu gedung, dengan sistem tekanan negatif yang sesuai standar akreditasi.

“Kami siap mendukung program fellowship yang bekerja sama dengan kolegium mikrobiologi klinik,” ujarnya.

Ketua Kolegium Mikrobiologi Klinik, dr. Yulia Rosa Saharman, juga menekankan pentingnya program ini untuk mendukung percepatan pemerataan dokter spesialis mikrobiologi klinik, khususnya di luar Pulau Jawa.
“Kami menekankan pentingnya mikrobiologi klinik berjenjang, dari tingkat dasar hingga lanjutan, agar diagnosis cepat dan akurat dapat diakses seluruh masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Ia juga mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk mendukung keberlanjutan program ini sebagai bagian dari transformasi sistem pelayanan laboratorium klinis nasional.

“Kami memohon arahan dan dukungan dari Kementerian Kesehatan agar program bisa berjalan secara berkesinambungan dan menjadi bagian integral dari transformasi sistem kesehatan,” katanya.

Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), drg. Arianti Anaya, menambahkan bahwa KKI telah menyusun standar kompetensi, profesi, serta kurikulum pelatihan terkait TBC bersama kolegium. “Program ini dikelola oleh Kolegium Mikrobiologi di bawah KKI, bekerja sama dengan rumah sakit pendidikan seperti RS Persahabatan,” jelasnya.

Ia berharap program ini dapat terus berkembang hingga ke jenjang kompetensi yang lebih tinggi, menjadi solusi konkret atas kekosongan tenaga spesialis dan subspesialis di Indonesia. “Ini adalah program besar yang dilakukan kolegium untuk menyegerakan solusi bagi kebutuhan tenaga kesehatan,” tuturnya.

Senada, Ketua Kolegium Kesehatan Indonesia, dr. Supriyanto Dharmoredjo, menyebut program fellowship TBC sebagai bagian dari strategi nasional eliminasi TBC 2030.

“Model pengembangan SDM berbasis kebutuhan nasional terus diperluas dan diintegrasikan dengan transformasi sistem kesehatan,” ujarnya.

Ia menutup dengan optimisme bahwa sinergi antar institusi adalah kunci utama untuk membangun sistem kesehatan nasional yang kokoh dan berkelanjutan. (SC03)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *