Reformasi indeks pembangunan desa ini diharapkan dapat digunakan oleh pedesaan di seluruh Indonesia untuk memperhitungkan indikator pembangunan berkelanjutan yang lebih baik, meskipun memiliki karakteristik sumber daya alam yang berbeda.
Sumutcyber.com, Jakarta – Lembaga Advokasi Internasional dengan keahlian di bidang keuangan dan kebijakan public, Climate Policy Initiative (CPI), merekomendasikan sebuah indeks penggunaan lahan berkelanjutan yang dikembangkan dari indeks pembangunan desa sebelumnya, dengan sebutan Indeks
Desa Membangun Plus (IDM+).
Reformasi indeks pembangunan desa ini diharapkan dapat digunakan oleh desa di seluruh Indonesia untuk memperhitungkan indikator pembangunan berkelanjutan yang lebih baik, meskipun memiliki karakteristik sumber daya alam yang berbeda. Selain itu, IDM+ juga dapat menjadi dasar bagi penggunaan instrumen-instrumen transfer fiskal yang baru demi mendorong desa-desa di Indonesia mencapai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan.
“Kenyataannya, desa-desa di Indonesia belum memprioritaskan program penggunaan lahan
berkelanjutan, bahkan di daerah-daerah yang sebenarnya sangat berkomitmen untuk mempercepat pembangunan hijau,” kata Tiza Mafira, Associate Director CPI Indonesia dalam rilis yang diterima redaksi Sumutcyber.com, Senin (28/12/2020).
Setidaknya ada tiga hal yang mendasari rekomendasi CPI tentang penggunaan IDM+ untuk indikator pembangunan pedesaan di Indonesia yang berkelanjutan. Pertama, indikator pembangunan dan alat evaluasi yang sudah ada selama ini tidak memadai untuk menyelaraskan tujuan-tujuan kelestarian lingkungan ke tingkat desa.
“Indikator evaluasi yang dibuat pemerintah pusat untuk diterapkan di desa tidak dapat mengukur kinerja lingkungan desa secara holistik, karena lebih menitikberatkan kepada pengukuran aspek sosial ekonomi dan ketahanan bencana. Sedangkan ada aspek-aspek kualitas lingkungan yang tidak ada,
misalnya terkait ketahanan pangan dan energi terbarukan,” lanjutnya.
Kedua, belum ada mekanisme evaluasi indikator lingkungan yang berujung pada insentif fiskal bagi yang berkinerja baik. “Dalam beberapa tahun belakangan sudah mulai muncul kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi. Sudah saatnya desa juga dilibatkan dalam skema ini. Desa akan lebih bersemangat mencapai kinerja berwawasan lingkungan ketika berpeluang memperoleh penghargaan fiskal,” lanjut Tiza.
Ketiga, mekanisme transfer fiskal baru perlu didasarkan pada indikator ekologi yang dapat diterapkan secara universal di semua daerah, namun tanpa disrupsi birokrasi. Desa di Indonesia sangat beragam, mencerminkan berbagai kondisi ekonomi, sumber daya dan topografi.
Oleh karena itu, penerapan mekanisme transfer fiskal ekologis baru membutuhkan indikator ekologi yang dapat diterapkan di semua wilayah. “Transfer fiskal yang berkeadilan berdasarkan indikator ekologi harus mampu menyerap perbedaan sumber daya alam, topografi, cuaca, kondisi hutan atau wilayah laut, dan kegiatan pertanian,” kata Tiza Mafira.
Penggunaan IDM+ untuk mengukur indikator pembangunan berkelanjutan di desa harus digunakan secara fleksibel. Indikatornya harus cukup luas agar relevan untuk diterapkan di seluruh desa di Indonesia. Kemudian, harus dapat disesuaikan dengan lokasi tertentu dan mampu memanfaatkan proses birokrasi yang ada. (Rel/SC03)