Sumutcyber.com, Medan – Praktisi Hukum Kota Medan Eka Putra Zakran mempertanyakan penangkapan pendiri Pasar Muamalah oleh Bareskrim Polri. Selama tidak ada pemaksaan dan tidak ada pihak yang dirugikanndalam transaksi yang menggunakan mata uang Dinar dan Dirham, katanya, maka tidak bermasalah.
Dia menjelaskan, pada zaman dahulu, orang melakukan aktivitas transaksi atau untuk mendapatkan barang dengan beragam cara. Mulai dari jual atau tukar barang dengan uang logam atau tukar barang dengan barang.
“Dalam ilmu ekonomi disebut barter dan perilaku ini lazim dilakukan orang untuk memenuhi kebutuan hidupnya, baik itu berupa kebutuhan primer, skunder maupun tersier,” katanya, Kamis (4/2/2021).
Lalu, Eka Putra Zakran membandingkannya dengan perbuatan tak lazim di tengah kehidupan bermasyarakat dari segi moral dan norma, baik itu norma adat, norma susila dan norma agama, tapi lain hal dengan norma hukum yaitu perbuatan zina atas niat atau modus suka sama suka.
“Secara hukum pidana orang dewasa (lebih dari 18 tahun) berzina atas dasar suka sama suka tidak dapat dikenai sanksi hukum, kecuali salah satu pihak sudah beristri atau suami. Pasal 284 KUHP memang mengaturnya begitu, pelaku hubungan diluar nikah karena faktor suka sama suka tidak dapat dipidana,” imbuhnya.
Nah, terkait adanya Pasar Muamalah yang didirikan oleh Zaim Saidi di Depok, di mana transaksi pembayaran mereka lakukan di sana dengan Dinar dan Dirham, maka Nalar hukum dan akal sehat siapa pun sepertinya setuju bila dianalogikan atau dikiaskan dengan logika terbalik bahwa perbuatan transaksi pakai Dinar dan Dirham tadi lebih elok dari perbuatan zina.
“Toh, juga tidak ada yang dirugikan. Analisis saya sepanjang tidak ada pemaksaan dan tidak ada pihak yang dirugikan ya no problem. Atau katakanlah sama, terus mereka yang bertransaksikan dengan Dinar dan Dirham tersebut pasti punya alasan yang sama yaitu keinginan suka sama suka. Jadi hemat saya tidak tepat jika pemilik dan sekaligus pendiri Pasar Muamalah tersebut diancam pidana 15 tahun penjara. Pendeknya terlalu naif, perlu pengkajian khusus dan mendalam untuk itu,” sambungnya lagi.
Lalu, kata Epza, muncul pertanyaan, apakah hubungan diluar nikah lebih mulia dari pada transaksi ekonomi lewat Dinar dan Dirham? Artinya, penerapan Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1946 tentang KUHP dan Pasal 33 UU No. 7 tahun 2012 tentang mata uang dengan ancaman 15 Tahun Penjara dan/atau denda 200 juta sangat tidak adil dan tidak pas.
“Yang kontra produktif justru, ada asuransi jiwa terdaftar di OJK dan itu malah menggunakan mata uang china. Kalau ini jelas kontra produktif. Makanya dalam penegakan hukum aparat tak boleh menggunakan politik belah bambu, satu diangkat dan satu dipijak. Kalau begitu kacau dong penegakan hukumnya,” timpalnya lagi. (SC03)