Oleh: Irna Minauli, Psikolog
KEKERASAN bisa terjadi kapan dan di mana saja, termasuk kampus. Kekerasan di kampus merupakan bentuk bullying (perundungan) yang lebih terorganisir, mengatasnamakan kelompok dan bukan sekedar masalah personal.
Kekerasan tersebut seolah mendapatkan legitimasi karena sudah diwariskan dari generasi ke generasi sehingga dianggap sebagai suatu hal yang wajar.
Bahkan, sampai pada tingkat pendidikan lebih tinggi seperti PPDS (Pendidikan Profesi Dokter Spesialis) bullying ini terjadi, meski tidak secara fisik sehingga tidak sampai menimbulkan kematian.
Selain bersifat fisik, bullying juga dapat terjadi secara psikologis dalam bentuk kekerasan verbal, relational dan cyber bullying. Kekerasan fisik biasanya dilakukan dalam upaya penegakan disiplin dengan jalan memberikan hukuman bagi pelanggarnya.
Ketika hukuman ini melampaui batas, maka hal inilah yang dapat mengakibatkan kematian. Kekerasan psikologis dapat berupa intimidasi yang dilakukan pelaku (perpetrator) sehingga membuat korban (victim) menjadi tidak berdaya dan terpaksa melakukan apa yang diminta seniornya.
Bentuk kekerasan verbal dengan menggunakan ucapan yang dapat melukai perasaan korban. Bentuk “relational bullying” biasanya dengan mengucilkan (mengisolasi) korban sehingga tidak ada orang yang boleh menemaninya. “Cyber bullying” banyak terjadi dengan semakin meningkatnya penggunaan internet.
Yang menarik dari masalah bullying ini adalah peran dari penonton (bystander). Mereka yang seharusnya dapat mencegah terjadi kekerasan yang fatal, namun mereka memilih untuk diam atau bahkan menjadi tim pemandu sorak, “cheer leader” menyemangati pelaku melakukan kekerasan terhadap korbannya. Peran para bystander inilah seharusnya yang diberanikan untuk mampu mencegah terjadinya tindakan kekerasan agar tidak berkelanjutan.
Para pelaku biasanya menggunakan ajang ospek atau penggojlokan untuk menunjukkan kekuasaan yang dimilikinya terhadap para junior. Semakin besar kemarahan akibat frustrasi dalam kehidupan nyata maka semakin keras tindakan yang mereka lakukan.
Sebagaimana diketahui, frustrasi terjadi ketika seseorang mengalami banyak hambatan sehingga tidak dapat mencapai goal (tujuan) tertentu dalam hidupnya. Beragam bentuk frustrasi yang dapat terjadi; misalnya karena masalah pribadi, akademik, pekerjaan atau secara sosial.
Dengan melakukan tindak kekerasan mereka melakukan katarsis bagi penyaluran emosi-emosi negatif yang dirasakannya. Secara psikologis hal ini merupakan bentuk defence mechanism (mekanisme pertahanan diri) dalam bentuk displacement.
Mereka salah menempatkan sasaran kemarahannya. Biasanya karena mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menghadapi atau mengatasi stressor (sumber stres)nya.