Oleh Joharmiko Safril Siregar, SE
BERKACA pada tingginya konflik di sejumlah daerah pada Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PILKADA) Indonesia maka patut rasanya bila sejumlah lembaga dan pemangku kepentingan sejak dini sudah melakukan upaya pencegahan.
Kendati tidak secara rinci, salah satu lembaga Negara yang secara dini telah melakukan upaya meredam potensi konflik itu adalah Lembaga Ketahanan Republik Indonesia (Lemhanas RI).
Dalam sebuah FGD (Focus Group Discussion) Lemhanas RI di Jakarta pada Senin, 27 Juni 2022, Ketua Program Studi Pasca Sarjana FISIP UI Dave Lumenta P.h.D., Ph menyampaikan bahwa konflik sosial selalu inheren yang selalu senantiasa diwarnai oleh kompetisi dan keterbatasan sumber daya. Dimana konflik sosial saat ini tidak lagi bisa dikelola oleh institusi local seperti tokoh-tokoh masyarakat, bahkan oleh institusi nasional seperti aparat dan pers. Hal itu dikarenakan terjadinya despasialisasi konflik yang sudah masuk ke ranah maya seperti internet, media sosial dan jaringan trans nasional.
Selain itu, sejumlah tokoh dan pengamat juga menyampaikan pentingnya perhatian semua pihak terkait potensi konflik dalam Pemilu dan PILKADA 2024 nanti. Katakanlah seperti Pengamat Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji Bismar Arianto (Antara 2022) menyebutkan pentingnya mencegah dan meminimalisir potensi konflik pada PEMILU dan PILKADA 2024.
Secara khusus ia menyoroti adanya ruang abu-abu penegakan aturan dalam kampanye di media sosial. Sementara para buzzer dan Tim Kampanye akan semakin kuat memanfaatkan Media Sosial sebagai ruang dan kesempatan dalam berkampanye.
Sementara Badan Pengawas Pemilu selaku leading sector pengawasan Pemilu dan Pilkada sejak awal sudah menyampaikan upaya pihaknya dalam hal antisipasi potensi konflik yang mungkin muncul nantinya. Dalam sebuah Round Table Discussion (RTD) di Jakarta pada 10 Agustus 2022 lalu Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menyebutkan adanya kemungkinan potensi konflik yang muncul dari dinamika banyaknya pelanggaran.
Secara khusus ia menyoroti adanya hal urgensi yang perlu menjadi perhatian di Pemilu 2024 yakni Politik Identitas, Suku, Ras, Agama dan Antar Golongan (SARA) serta hoax dan berita bohong.
Mengacu pada apa yang disampaikan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa Media Sosial maupun jejaring sosial menjadi salah satu kunci yang perlu mendapat perhatian serius oleh semua pihak, baik dari sisi aturan, pengawasan, penggunaan bahkan antisipasi dini terhadap potensi penyalahgunaan Media Sosial yang dapat berakibat pada terjadinya konflik sosial.
Ternyata dunia digital yang tak lagi terbendung mesti diatur dengan hukum formal sembari berlangsungnya proses kaderisasi alami terhadap fenomena baru manusia di era ini. Mau tidak mau, suka tidak suka penggunaan internet dan media sosial tidak terhindarkan. Kita memasuki era prosumer, dimana hampir semua pengguna Media Sosial menjadi produsen atau pembuat yang sekaligus menjadi konsumen maupun penyebar informasi.
Untuk itu, kita harus cepat, tanggap dan memegang kendali atas fenomena ini sehingga tidak menjadi korban dari segala bentuk penyalahgunaan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
Menurut rilis laporan Reuters Institute 2022 bahwa mayoritas masyarakat Indonesia mengkonsumsi media daring sebagai sumber berita dengan persentase 88%. Dari data itu disebutkan bahwa terdapat 10 media online terbesar yang menjadi sumber berita utama dalam konsumsi informasi, dengan rincian sebagai berikut: pertama diduduki Detik.com sebanyak 65% respondenya mengaku membaca setidaknya dalam seminggu. Kedua Kompas Online sebesar 48%, ketiga CNN Indonesia dengan persentase 35%, dimana media ini dimiliki oleh perusahaan yang sama yakni CT Corp dengan Detik.com. Posisi ke empat ditempati Tribunnews 35%, kelima TV One News online 30% dan ke enam Metro TV News online 28%. Empat posisi selanjutnya disusul oleh Liputan6.com 25%, Okezone 23%, Kumparan 21% dan Tempo.co.id 19%.
Dari data ini, ketika kita disandingkan dengan maraknya penyebaran berita hoax atau berita bohong secara kasat mata barangkali dapat dikatakan berjalan sejajar. Penyebaran berita bohong banyak kita temukan disebarkan melalui link dan sumber gelap (akun palsu/anonim) maupun melalui komentar tanggapan pada halaman-halaman media sosial yang justru resmi yang luput dari pantauan pihak perusahaan atau pemilik akun.
Sementara kemampuan kita masih sangat rendah untuk melakukan deteksi dini dan penanganan ketika berhadapan dengan hoax puluhan, ratusan bahkan ribuan dalam sekejab waktu di sebuah postingan atau malah seolah digerakkan secara massal melalui akun-akun anonim.
Harus ada pihak yang mumpuni dan bisa secara leluasa melakukan penindakan terhadap potensi gerakan penyebaran hoax secara massal seperti itu. Pihak yang dimaksud bisa mengakses ke berbagai lini kekuasaan seperti eksekutif, legislative, judikatif, pengusaha, pers maupun insan pers, Lembaga Swadaya Masyarakat serta kelompok-kelompok masyarat.
Dalam kaitan demokrasi mereka adalah bagian penting dari fitur demokrasi yang semestinya selaras, memiliki pemahaman dan visi yang sama sehingga upaya apapun yang hendak dilakukan dalam upaya mencapai Pemilu dan Pilkada damai bisa maksimal.
Pers dan Media yang mencapai 42.000 sebagaimana pernah disampaikan Ketuas Dewan Pers Mohammad Nuh (2019) sebenarnya tidak mudah untuk dirangkul. Dibutuhkan aturan baru dalam memperluas cakupan UU Pers nomor 40 tahun 1999, sehingga pertumbuhan Media Daring yang dari hari ke hari kian bertambah tidak menjadi liar ditengah perubahan peradaban teknologi. Dan sebaliknya kegiatan jurnalistik bisa bermuara untuk mensejahterakan public melalui peran edukasi yang mencerdaskan.
Secara tertulis hitam diatas putih pihak penyelenggara Pemilu mulai dari Bawaslu dan
KPU, DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) serta Mahkamah Konstitusi
diharapkan memiliki komitmen yang konkrit dengan fitur-fitur demokrasi seperti Media dengan perusahaan media, Pers hingga akses yang cukup ke pihak-pihak pemegang maupun pemilik aplikasi yang berkaitan dengan aktivitas sarana informasi dan komunikasi seperti Media sosial (Facebook, Whatspp, youtube, dll).
Apa yang kita sebutkan diatas adalah salah satu upaya konkrit yang dapat dilakukan
secara mudah walau dalam eksekusinya mungkin membutuhkan totalitas energy dan dana yang cukup besar. Akan tetapi rasanya kita tidak punya banyak pilihan dalam melahirkan kekuatan baru yang bisa menjadi ‘pemeriksa’ fenomena prosumer yang terjadi saat ini.
Dengan upaya itu kita berharap tercipta kondisi Peace Journalism (Jurnalisme damai) yang akan mengedepankan pemberitaan perdamaian, yang akan diikuti dengan pengguna medsos yang cerdas dalam setiap tahapan Pemilu 2024. Dengan demikian Pemilu Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil adalah keniscayaan ditengah maraknya ambiguitas informasi media sosial. (Penulis adalah pemerhati Pemilu)