Sumutcyber.com, Bandung – Indonesia diperkirakan gagal mencapai target global mengakhiri epidemi HIV/AIDS pada 2030. Target yang menjadi deklarasi dalam pertemuan tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2016 tersebut juga mencakup salah satu janji yang harus dipenuhi pada tahun 2020 ini, yaitu mencapai target 90-90-90.
Target ini adalah 90 persen orang dengan HIV/AIDS (Odha) mengetahui status HIV-nya, 90 persen Odha mendapatkan pengobatan Antiretroviral (ARV), dan 90 persen Odha yang mendapat pengobatan itu jumlah virus HIV dalam tubuhnya dapat ditekan.
Indonesia sebagai anggota PBB yang ikut menandatangani deklarasi politik itu bisa dipastikan tidak akan berhasil mencapai target.
Pasalnya, laporan Kementerian Kesehatan RI menunjukkan, hingga September 2020 saja baru sebanyak 409.857 Odha yang mengetahui status HIV-nya. Sementara itu, Program bersama PBB untuk penanganan AIDS (UNAIDS) pada 2016 pernah memperkirakan jumlah odha di Indonesia mencapai 640.443.
Selain itu, laporan Kemenkes RI tersebut juga menyebutkan jumlah Odha yang mendapatkan pengobatan baru mencapai 139.585 orang, dan hanya 24.246 Odha yang mengikuti pengobatan ARV berhasil menekan jumlah virus HIV-nya. Dengan demikian, Indonesia sampai saat ini hanya memperoleh capaian 64-22-4 dari target 90-90-90.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang gagal dalam pencapaian target global ini. Berbagai negara dengan beban HIV yang tinggi memang berada jauh di luar jalur. Dalam Global Report 2020-nya, UNAIDS melaporkan dari sekitar 38 juta Odha di dunia, baru sekitar 25,4 juta Odha yang mendapatkan pengobatan ARV. Artinya, masih ada 12,6 juta Odha yang belum terobati.
Selain itu, walaupun mengalami penurunan yang cukup signifikan sejak tahun 2010 (sebesar 38%), angka penularan baru HIV di tahun 2019 masih berada di sekitar angka 1,7 juta kasus, sedangkan target di tahun 2020 adalah lebih sedikit dari 500.000 kasus. Angka kematian terkait AIDS pun gagal mencapai target dengan capaian 690.000 dibandingkan target lebih sedikit dari 500.000 kematian. Indonesia bahkan menjadi negara ketiga terbesar se-Asia Pasifik dengan angka penularan baru HIV mencapai 50.282 di tahun 2019, dan 32.293 sejak Januari hingga September 2020 lalu.
“Sejatinya, janji politik global mampu menciptakan komitmen politik dari pemimpin negara untuk melakukan penanggulangan HIV/AIDS yang lebih efektif. Namun, janji itu hanya retorika belaka. Kami tidak merasakan adanya urgensi dari pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia,” ujar Aditia Taslim, Direktur Eksekutif Rumah Cemara.
Sejak tahun 2016, penambahan jumlah Odha yang mengetahui status HIV-nya hanya 57 persen dan Odha yang mendapatkan pengobatan ARV hanya 56 persen atau hanya bertambah 61.837 orang. “Padahal, sejak tahun 2016 itu, kita sudah tahu bahwa capaian Indonesia jauh sekali dari apa yang sudah ditargetkan. Seharusnya ada dorongan, komitmen, kepemimpinan, dan perubahan yang signifikan dan cepat,” tambahnya menegaskan.
Kebijakan Yang Tidak Mendukung
Kebijakan di Indonesia juga tidak mendukung program penanggulangan HIV/AIDS. Tidak adanya peran pemerintah yang berupaya menyelaraskan upaya penanggulangan ini berujung pada permasalahan epidemi yang tidak ada akhirnya. Padahal seperti diketahui, epidemi HIV bukan hanya permasalahan kesehatan, namun juga sosial, ekonomi, budaya dan politik.
Adit juga menilai, peran besar dari kementerian lintas sektor sangat dibutuhkan. Menurutnya, dulu ada peran Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Namun sejak diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 124 tahun 2016, Komisi itu dibubarkan dan perannya diserahkan kepada Kementerian Kesehatan untuk fungsi teknis dan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan untuk fungsi koordinasi.
“Dampak dari pembubaran ini adalah hilangnya peran koordinasi dan sinkronisasi terkait kebijakan, peraturan dan rencana kerja. Terlebih lagi Indonesia memiliki sistem pemerintahan yang desentralistis, sehingga ada kecenderungan daerah menciptakan peraturan dan kebijakan yang tidak selaras dengan rencana kerja nasional,” tambahnya.
Lebih jauh, ia menyatakan di tingkat nasional pun masih banyak peraturan yang menghambat upaya penanggulangan HIV, terutama yang bersifat diskriminatif dan mengkriminalisasikan populasi kunci. Mereka yang dikategorikan populasi kunci adalah yang rentan terhadap penularan HIV di antaranya pengguna narkoba suntik, pekerja seks, lelaki seks dengan lelaki, waria, dan warga binaan pemasyarakatan.
Salah satu peraturan itu adalah pengecualian pengguna narkoba untuk mendapatkan layanan kesehatan yang dibiayai oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 pasal 52 nomor (1) huruf (i) dan (j).
“Kami di Rumah Cemara, bersama kelompok masyarakat lainnya mengajukan hak uji materiil kepada Mahkamah Agung, Agustus 2020 lalu, “ ujarnya.
Kebijakan ini, menurutnya, telah membuat pengguna narkoba tidak mau mengakses layanan kesehatan. Padahal, salah satu penularan HIV adalah melalui penggunaan narkoba jarum suntik. Seharusnya, peraturan-peraturan yang menghambat ini dihapus, katanya.
Pandemi COVID-19, Epidemi HIV, Sebuah Sindemi
Pandemi Covid-19 telah meluluhlantakan berbagai sektor kehidupan manusia, tidak hanya sektor kesehatan. Dengan epidemi HIV dan penyakit lain seperti Tuberkulosis yang masih ada, banyak pakar menyebut bahwa situasi saat ini adalah sebuah Sindemi, di mana dua atau lebih penyakit berinteraksi dan dapat menyebabkan efek merusak yang lebih besar. Penanggulangan HIV pun menjadi salah satu program yang terdampak Covid-19.
Anjuran Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk memberikan stok pengobatan ARV sebanyak 6 bulan bagi Odha untuk mengurangi resiko terpapar virus corona tidak direalisasikan di Indonesia. Justru di saat yang bersamaan, stok ARV di Indonesia mengalami kekurangan di awal-awal tahun 2020.
“Jangankan tiga atau enam bulan, saya sudah beruntung bisa dapat untuk satu bulan saja. Bahkan teman-teman lain banyak yang hanya mendapat untuk satu atau dua minggu,” ujar F, seorang Odha di kota Bandung.
Selain itu, pandemi Covid-19 juga ditakutkan berdampak buruk pada akses pengobatan. Pada awal masa pandemi, Rumah Cemara melakukan asesmen cepat untuk melihat dampak ekonomi di masa pandemi dan kaitannya dengan akses pengobatan. Berdasarkan penilaian tersebut, Rumah Cemara melakukan respon darurat dengan menyediakan bantuan subsidi pengobatan ARV untuk biaya layanan kesehatan dan memberikan layanan pengiriman ARV, sehingga Odha dapat tetap tinggal di rumah dan mendapatkan ARV-nya tanpa harus mengeluarkan biaya apapun.
Hingga saat ini, program ini telah membantu 1.422 Odha dalam mengakses layanan kesehatannya. Bantuan ini diharapkan dapat mengurangi jumlah Odha yang tidak kembali dalam perawatan atau bahkan berhenti berobat (lost-to-follow-up) yang di Indonesia jumlahnya sudah cukup tinggi. Hingga September 2020 lalu saja jumlahnya mencapai 64.988 Odha.
Masa Depan Respon HIV
UNAIDS saat ini sedang memperbaharui strategi penanggulangan AIDS yang berakhir di tahun 2021. Strategi baru ini nantinya akan menjadi strategi global di mana Juni 2021 nanti, badan PBB telah menyepakati pertemuan tingkat tinggi untuk HIV. Artinya, Indonesia akan menandatangani sebuah deklarasi politik baru.
Kita akan melihat, apakah janji baru ini akan membawa hasil baru di Indonesia atau janji ini akan tetap menjadi retorika belaka tanpa adanya komitmen dan kepemimpinan yang tegas. (Rel/SC03)